Monthly Archives: September 2012

aku pergi berlari-lari

Hei, sesiang ini,
Aku sudah berlari-lari.
Ke sana kemari,
Tanpa tujuan yang pasti.

Aku pergi ke lembah,
Kemudian menyeberangi sawah,
Yang kudapat hanya gundukan sampah.

Aku meloncat ke luar,
Memelototi matahari yang semakin pudar,
Awan tertawa gemetar.

Kulanjutkan langkahku.
Ke hutan sekarang aku menuju.
Memetik bunga kupu seribu.

Ke gunung aku lanjut mencari.
Ke balik bukit di padang bunga matahari.
Yang kutemui hanyakah biji kuaci.

Kemudian aku berhenti.
Hanya sebentar, kemudian lanjut mencari.
Hei, sebenarnya ada di mana kau saat ini?
Kubawakan untukmu sebongkah batu rubi,
Asalkan kau berjanji mengembalikan apa yang kau curi.
Hatiku begitu saja kau bawa pergi.

Sragen, 6 September 2011

Leave a comment

Filed under poem

alasan pembenaranku

Dia mengagumkan.
Kukatakan itu padamu.
Dia menyenangkan.
Kau setuju pada pendapatku.

Aku menyukainya.
Kau tersenyum gembira.
Aku menginginkannya.
Kau setuju saja.

Kau selalu berkata padaku,
aku adalah sahabatmu.
Aku bilang kau teman baikku.

Aku selalu berkata padamu,
Dia adalah yang terbaik untukku.
Kau selalu mengiyakan perkataanku.

Dia teman baikmu,
Aku sahabatmu.
Katamu, “bukankah menyenangkan sekali hidupku?”
Aku tersenyum setuju.

Tapi, hei, pernahkah kau berpikir sekali saja,
dalam waktumu yang tak terduga?
Hanya aku yang bukan siapa-siapa?
Dan dia yang tak lebih dari teman biasa?

Aku begadang sepanjang malam,
Hanya untuk menjadi orang yang pertama mengucapkan,
Selamat ulang tahun padamu dan semoga hidupmu menyenangkan.

Aku berkunjung setiap hari,
Membawa sekeranjang roti strawberry,
Saat kau sedang bersedih hati.
Aku yang pertama kau kabari,
ketika kau mendapat beasiswa ke luar negeri.

Kau selalu berkata aku sahabatmu,
Tapi pernahkah kau berpikir bahwa aku tidak menganggapnya begitu?
Katakanlah, dia hanya alasan pembenaranku?

Sragen, 7 September 2011

Leave a comment

Filed under poem

angka-angka bukan apa-apa

Dua dua diikat jadi satu,

tiba-tiba ada kamu.

 

Satu tambah satu sama dengan dua,

aku dan kamu jadi kita.

 

Tiga kali tiga itu sembilan,

aku dan kamu saling memperhatikan.

 

Angka-angka dijumlah tak terhingga,

tiba-tiba saja di mana-mana ada bunga.

 

Nol dibagi nol tidak ada jawabannya,

aku benar-benar tak tahu ini apa.

 

Sragen, 9 September 2011

Leave a comment

Filed under poem

di bawah konstelasi bintang yang sama, kita berbeda

Kau tahu, aku lelah mencoba. Aku lelah mencoba, berpura, seakan semua baik-baik saja dan tidak terjadi apa-apa. Aku tahu bahwa air mataku terlalu berharga untuk terbuang sia-sia. Pandanganku buram, meskipun asal kau tahu saja, tidak cukup buram untuk mengabaikan fakta bahwa aku berdiri di sini dan kau berdiri di sana, bersedekap, seolah ada dinding berjarak tak kasat mata di depan kita.

Aku pernah jatuh dan entah bagaimana kau memberiku sejuta alasan untuk bangun dan berdiri tegak. Katamu semua yang telah kukorbankan tidak ada yang sia-sia. Katamu air mataku terlalu berharga untuk kubuang sia-sia pada orang yang tidak pantas mendapatkannya. Aku tersenyum kembali.
Kau selalu membuatku tertawa dengan caramu, yang bagi orang lain terlihat tidak lucu. Aku selalu bersyukur dan menghargai waktu-waktu itu ketika suara tawamu sama menenangkannya dengan simfoni orkestra di Praha.

Kuceritakan mimpi-mimpiku dan kau tersenyum, menyemangatiku. Tidak ada yang tidak bisa kau lakukan. Kau selalu membuatku berfikir bahwa setidaknya aku adalah seorang pemenang…bagi diriku sendiri.

Kita selalu berdiri bersama, berdampingan, menjejak tanah yang sama sembari berdebat apakah antares dan algieba itu berada pada konstelasi bintang yang sama. Pada akhirnya kau selalu membiarkanku memegang pendapatku bahwa antares dan algieba jelas-jelas berada pada posisi yang berbeda. Kau tersenyum, berkata bahwa seperti antares dan algieba yang kendati bersinar di tempat yang berbeda, mereka toh tetap berada di langit yang sama, seperti itulah kita. Katamu walaupun terkadang kita tidak seirama, tetap saja kita memandang langit yang sama.

Saat ini kita berdiri bersama, aku di sini dan kau di sana. Tidak berdampingan, tapi berseberangan. Kita bukan hanya tidak seirama, tapi kita telah kehilangan irama.

Aku memandang ke atas, mengusap mata, memfokuskan pada apa yang kulihat. Langit terlihat secemerlang biasanya.

Di seberang, kau melakukan hal yang sama, menatap langit kita, tapi tampaknya dengan cara yang tidak lagi sama.

Aku menyerah, aku membiarkan diriku sendiri menangis. Air mataku tidak sia-sia karena setidaknya saat ini aku menangis untuk seseorang yang pantas mendapatkannya.

Sragen, 9 September 2011

Leave a comment

Filed under story

catatan pukul delapan

Jujur saja, rasanya agak menyakitkan memang, berbaring sendirian, memandangi langit-langit dan mencari di mana gerangan letak langit-langitnya yang berlubang. Namun seberapapun aku mencari, langit-langit di atasku tetap saja berwarna putih, kosong, tanpa ada sebuah lubang. Aku bertanya-tanya, kemudian timbul sebuah pemikiran bahwa mungkin saja lubangnya tidak berada di sana. Mungkin saja lubangnya bahkan tidak dapat dilihat, atau diraba, tetapi…terasa nyata. Kau tahu kan, ada beberapa jenis lubang yang membuat dadamu nyeri selama sepersekian detik seperti saat kau menyadari bahwa kau terlewat satu anak tangga ketika melewati sebuah tangga curam di tempat asing. Hanya ada dua kemungkinan : kau terjatuh atau kau bertahan.

Mudah saja mengatakan bahwa kau akan mencari pegangan dan bertahan. well, tentu saja saat ini kau tidak mengalaminya. Kau hanya membayangkan apa yang akan kau lakukan saat kau terlewat satu anak tangga ; kau tidak benar-benar ada di sana.

Terkadang dalam beberapa kejadian, lebih mudah menyerah, terjatuh, dan menyerahkan segalanya sepenuhnya pada takdir, entah itu buruk atau semakin buruk. Yah, tidak ada hal baik saat kau terjatuh, bukan, kecuali jika salah satu hal baik itu melibatkan orang lain yang entah bagaimana kebetulan berada di sana dan entah mengapa mau menolongmu, memanggil bantuan ataukah memapahmu keluar dari tempat asing itu meskipun tidak diragukan lagi berat badanmu jelas telah naik gila-gilaan sejak beberapa bulan lalu.

Yah, ada beberapa orang, yang sebut saja bisa menjadi semacam pegangan saat kau terjatuh, atau menjadi pengingat bahwa sebaiknya kau selalu mengawasi hal-hal di sekitarmu ; barangkali sedetik kemudian kau lupa bagaimana cara bangkit kembali dan berjalan.

 

Depok, 1 Oktober 2011

Leave a comment

Filed under self-story

mimpi pukul tiga

Minggu siang pukul tiga,
Aku terbangun dengan tiba-tiba.
Angin panas berhembus dari jendela,
Membuatku teringat pada mimpiku sebelumnya.
Rasanya benar-benar nyata.

Mungkin saja salahku.
Aku sudah tidur berjam-jam lalu.
Tidak menghiraukan apapun di sekitarku.
Kambing mengembik dan sapi mendengus hanya angin lalu.
Hari ini tema besarnya adalah aku dan tempat tidurku.

Pada awalnya mimpiku biasa saja.
Dunia abstrak penuh reka-reka.
Yang kuingat kebanyakan warna putih sebagai latar belakangnya.

Hobiku mengarang cerita, Barangkali kubawa hingga dunia maya.
Tiba-tiba saja aku sudah berada di sana,
Melambaikan tangan dan mengucap selamat bekerja.
Lucunya adalah, aku sudah menikah kelihatannya.
Dengan seseorang yang jelas-jelas aku tahu siapa.
Aku memasak, aku senang ketika dia tiba.
Yang aneh adalah, kelihatannya aku memang benar-benar istrinya.
Di mimpiku aku melarangnya pergi ketika hujan tiba.

Astaga, yang benar saja.
Otakku sudah konslet rupanya.
Jadi begitulah mimpiku terus bercerita.
Aku benar-benar jadi istrinya.

Pukul tiga sudah lama berlalu.
Dua jam aku berbaring termangu.
Mimpiku tadi benar-benar membekas di ingatanku.
Aku mulai merasa malu,
Tahukah kau, “dia” itu kamu?

Depok, 6 November 2011

Leave a comment

Filed under poem, self-story

menunggu

Berikanlah dirimu waktu untuk jatuh cinta. Jenis cinta yang kau bahkan tidak tahu artinya, jenis cinta yang bisa membuatmu berbunga, dan jenis cinta yang tidak memerlukan banyak keraguan atau tanya.

Kau tahu, jenis cinta seperti ini jarang, tidak akan pernah datang dua kali, dan kau bahkan tidak perlu berpikir berkali-kali saat dia datang menghampirimu, tiba-tiba, membuatmu tersenyum malu.

Jadi menurutku kau tidak perlu tergesa, memberikan bunga yang ada di dadamu pada orang lain, karena boleh jadi, si pemilik bunga darimu belum datang dah yah, saat ini sedang sibuk mencari.

Berikan dirimu waktu, menunggu, untuk jatuh cinta, karena cinta yang sesungguhnya tidak akan pernah menyakitimu, bahkan dia selalu ada di sana dan bersiap membuatmu tertawa. Jadi, jika saat ini kau banyak mengorbankan air mata, bukankah kau berpikir hal itu sebagai sesuatu yang sia-sia ? Bukankah lebih baik menunggu orang yang bisa membuatmu berbunga sekaligus tertawa daripada menghabiskan waktumu untuk seseorang yang tidak membuatmu bahagia ?

Aku tahu menunggu, dengan banyak waktu, itu sama melelahkannya seperti berlari ratusan kilo tanpa berhenti, akan tetapi, bukankah lebih baik begitu ? Kau tahu, di luar sana ada seseorang yang sedang berusaha keras mencarimu dan sednag bertanya-tanya di mana kau berada. Maksudku, bukankah itu hal yang luar biasa ? Kau di sini, menunggu untuk ditemukan, dan seseorang di sana, mencari untuk menemukan ? Dan pada saat kalian bertemu, langit pun dengan bangga akan memamerkan warna merah jambu ?

Jadi tidak perlu tergesa. Berikan dirimu waktu untuk jatuh cinta. Pada orang yang seharusnya. Dan yah, kurasa kalian berdua akan sangat bahagia. Dengan cara-cara yang bahkan tidak kalian pahami bagaimana.

 

Depok, 30 September 2012

Leave a comment

Filed under self-story

bagaimanapun juga, bukankah kau temanku ?

Ah ya, jadi bagaimana kabarmu ?

Apakah kau baik-baik saja sepertiku ?

Ataukah definisi jawabanmu berubah satu per satu ?

 

Dan yah, sudah lama kita tidak bertemu.

Apakah menghitung mobil biru masih menjadi hal favoritmu ?

Kurasa ya, karena terakhir kali aku melihatmu,

kau duduk diam di teras rumahmu.

 

Kurasa, kita baik-baik saja, bukan ?

Tunggu, kita memang baik-baik saja, bukan ?

 

Tidak usah berpura tidak melihatku.

Aku tahu kau tak terlalu senang bertemu denganku.

Tapi, setidaknya kurasa kau bisa menyapaku.

Dan kita bisa bertukar sapa dan mungkin secangkir kopi susu.

 

Tapi tentu saja kau tetap berdiri di sana.

Diam saja seperti patung Yunani berganti warna.

Dan aku tahu apa sebabnya.

Yah, tentu saja kau lagi menganggapku ada.

Kau tepati janjimu dahulu kala.

Sepuluh menit setelah kau memberiku bunga.

Semenit setelah aku mengembalikannya padamu begitu saja.

 

Ah, andai saja kau mau mengerti.

Tidakkah bagimu persahabatan kita cukup berarti ?

Dan aku benci mengatakan hal ini,

setengah mati aku merindukan sahabatku lagi.

 

Dan aku masih bertanya-tanya,

kenapa kau harus menyebutkan tiga kata itu dan semua berubah begitu saja,

sahabatku pergi dan berganti rupa,

menjadi orang asing yang tidak tahu bagaimana cara menyapa.

 

Bukankah hal itu bertahun-tahun lalu ?

Kau pergi dan kupahami itu.

Meskipun dalam hati aku tetap ragu.

Kapan aku bisa bertemu lagi denganmu.

 

Tentu saja hal itu tidak dalam artian sebenarnya.

Setiap hari kita bertemu dan kucoba tersenyum menyapa.

Dan setiap hari pula kau bertingkah seolah aku hanya dinding bata.

 

Dan malam ini kita bertemu.

Ternyata kau masih menyukai mobil berwarna biru.

Buktinya kau duduk sejauh mungkin dariku.

Membuang muka sambil memandangi jalanan di depanmu.

Sembari sesekali mengecek si penjual roti bakar favoritmu.

 

Dan yah, aku tidak berbuat apa-apa,

sejujurnya aku terus memperhatikanmu duduk diam di sana.

Bertanya-tanya bagaimana kabar sahabatku saat ini juga.

Tapi kau tidak pernah memberiku kesempatan bertanya.

Semua pertanyaanku kau buang begitu saja.

Tepat seperti kau buang bunga yang kuhilangkan pitanya.

 

Dan apakah kau masih tidak memahami ?

Mengapa bunga itu kukembalikan padamu dengan sepenuh hati ?

Kurasa si pemilik bunga masih mencari-cari.

Dan suatu hari kau akan memberikannya dengan sebuah janji.

 

Tapi kurasa hari itu belum tiba.

Melihat caramu yang menganggapku tidak nyata.

Tapi bukankah katamu kau orang paling sabar sedunia ?

Kenapa kau harus tergesa mengatakannya ?

Padaku dan bukan pada si pemilik bunga ?

 

Bagaimanapun juga,

aku merindukan tawa kita,

dan bagaimana kau menendang kakiku dan semacamnya.

Lihatlah kau di sana,

berdiri diam seperti kuda kehilangan ekornya.

 

Kau sahabatku, kau tahu.

Kita belajar bersama sejak kau merebut mainanku.

Dan tumbuh bersama ejekan lipstik pertamaku.

Dan kenapa kau membuat segalanya berliku ?

Dengan mengatakan kata-kata itu kepadaku ?

Karena yah, bagaimanapun juga, kau teman terbaikku.

Dan aku sangat merindukan hal itu.

Alih-alih orang asing yang kehilangan tawa bersama mobil biru.

 

Depok, 29 September 2012

 

 

Leave a comment

Filed under poem

pohon gundul, musim gugur, dan warna coklat tua

Sudah pernahkah kuceritakan sesuatu padamu ?

Bukan fiksi, rekaan, atau karanganku.

Akan tetapi mimpi dan harapanku.

Maukah kau mendengarkanku ?

 

Kau pasti berkata aku berlebihan atau bagaimana.

Akan tetapi, asal tahu saja,

aku sangat menyukai pohon gundul, musim gugur, dan warna coklat tua.

 

Kau tahu mengapa ?

Warna coklat tua selalu membuatku merasa bahagia,

Musim gugur selalu menjadi saat di mana aku ingin berada,

pohon gundul selalu menjadi bagian dari diriku dan cerita.

 

Jadi kalau kau bertanya,

apa yang kusukai dan mengapa,

yah kau sudah punya jawabannya.

Seperti semua orang di mana saja,

tentu saja aku punya hal-hal favorit di dunia.

 

Depok, 29 September 2012

 

Leave a comment

Filed under poem, self-story

mengapa aku menulis ini itu dengan seringnya

Aku menulis setiap hari,

hanya karena aku ingin berbagi.

Membagi susah, senang, dan mimpi.

 

Kalau kau mengenal seorang penyanyi,

setiap hari pasti dia akan bermain dengan melodi,

memutuskan nada terbaik yang dia yakini.

 

Kalau kau tahu seorang pelukis,

hari-hari dia putuskan untuk mencampur warna-warna magis,

kendati terkadang dia harus mencari dan mengais.

 

Begitu juga aku,

aku memiliki keengganan untuk menggunakan suaraku,

dan yah berbicara tidak pernah terasa menarik untukku.

Kurasa aku akan menjadi pendengar yang baik untukmu.

 

Kembali ke masalah semula,

mengapa aku menulis dengan rajinnya ?

Meskipun di tanganku bertumpuk buku bahan kimia ?

 

Menulis tidak pernah gagal menghiburku.

Rasanya nyaris seperti berbicara sendiri pada diriku.

Selalu ada sesuatu yang baru.

 

Jadi kurasa kalau kau sedang merasa sedih atau bagaimana,

alih-alih banyak menangis, berbicara, atau semacamnya,

tuliskan saja pikiranmu di sana.

Walaupun tidak ada yang membacanya,

well, setidaknya dirimu sendiri akan melakukannya.

Bagaimanapun juga, dirimu sendiri adalah sahabat terbaik yang kau punya.

Depok, 29 September 2012

Leave a comment

Filed under poem