Ah ya, jadi bagaimana kabarmu ?
Apakah kau baik-baik saja sepertiku ?
Ataukah definisi jawabanmu berubah satu per satu ?
Dan yah, sudah lama kita tidak bertemu.
Apakah menghitung mobil biru masih menjadi hal favoritmu ?
Kurasa ya, karena terakhir kali aku melihatmu,
kau duduk diam di teras rumahmu.
Kurasa, kita baik-baik saja, bukan ?
Tunggu, kita memang baik-baik saja, bukan ?
Tidak usah berpura tidak melihatku.
Aku tahu kau tak terlalu senang bertemu denganku.
Tapi, setidaknya kurasa kau bisa menyapaku.
Dan kita bisa bertukar sapa dan mungkin secangkir kopi susu.
Tapi tentu saja kau tetap berdiri di sana.
Diam saja seperti patung Yunani berganti warna.
Dan aku tahu apa sebabnya.
Yah, tentu saja kau lagi menganggapku ada.
Kau tepati janjimu dahulu kala.
Sepuluh menit setelah kau memberiku bunga.
Semenit setelah aku mengembalikannya padamu begitu saja.
Ah, andai saja kau mau mengerti.
Tidakkah bagimu persahabatan kita cukup berarti ?
Dan aku benci mengatakan hal ini,
setengah mati aku merindukan sahabatku lagi.
Dan aku masih bertanya-tanya,
kenapa kau harus menyebutkan tiga kata itu dan semua berubah begitu saja,
sahabatku pergi dan berganti rupa,
menjadi orang asing yang tidak tahu bagaimana cara menyapa.
Bukankah hal itu bertahun-tahun lalu ?
Kau pergi dan kupahami itu.
Meskipun dalam hati aku tetap ragu.
Kapan aku bisa bertemu lagi denganmu.
Tentu saja hal itu tidak dalam artian sebenarnya.
Setiap hari kita bertemu dan kucoba tersenyum menyapa.
Dan setiap hari pula kau bertingkah seolah aku hanya dinding bata.
Dan malam ini kita bertemu.
Ternyata kau masih menyukai mobil berwarna biru.
Buktinya kau duduk sejauh mungkin dariku.
Membuang muka sambil memandangi jalanan di depanmu.
Sembari sesekali mengecek si penjual roti bakar favoritmu.
Dan yah, aku tidak berbuat apa-apa,
sejujurnya aku terus memperhatikanmu duduk diam di sana.
Bertanya-tanya bagaimana kabar sahabatku saat ini juga.
Tapi kau tidak pernah memberiku kesempatan bertanya.
Semua pertanyaanku kau buang begitu saja.
Tepat seperti kau buang bunga yang kuhilangkan pitanya.
Dan apakah kau masih tidak memahami ?
Mengapa bunga itu kukembalikan padamu dengan sepenuh hati ?
Kurasa si pemilik bunga masih mencari-cari.
Dan suatu hari kau akan memberikannya dengan sebuah janji.
Tapi kurasa hari itu belum tiba.
Melihat caramu yang menganggapku tidak nyata.
Tapi bukankah katamu kau orang paling sabar sedunia ?
Kenapa kau harus tergesa mengatakannya ?
Padaku dan bukan pada si pemilik bunga ?
Bagaimanapun juga,
aku merindukan tawa kita,
dan bagaimana kau menendang kakiku dan semacamnya.
Lihatlah kau di sana,
berdiri diam seperti kuda kehilangan ekornya.
Kau sahabatku, kau tahu.
Kita belajar bersama sejak kau merebut mainanku.
Dan tumbuh bersama ejekan lipstik pertamaku.
Dan kenapa kau membuat segalanya berliku ?
Dengan mengatakan kata-kata itu kepadaku ?
Karena yah, bagaimanapun juga, kau teman terbaikku.
Dan aku sangat merindukan hal itu.
Alih-alih orang asing yang kehilangan tawa bersama mobil biru.
Depok, 29 September 2012