Clane Gessel Photography
Aku memandanginya mematut diri di depan cermin berpinggiran perak setinggi dirinya, membubuhkan sedikit perona di pipi kirinya, melentikkan bulu matanya, merapikan ujung gaunnya, kemudian memandanginya memandangku lewat cermin di depannya, jelas terlihat terkejut tapi senang ; ada seulas senyum merekah di bibirnya yang telah dibubuhi lipstik warna pink pucat dengan hati-hati.
Dia tetap di sana ; aku tetap berdiri di tempatku, mencoba menyampaikan hal-hal yang perlu kusampaikan lewat pandanganku, lewat senyumku. Setelah beberapa detik dia mengedikkan bahunya dan melambaikan tangannya yang dihiasi korsase warna ungu : menyuruhku mendekat.
Aku tidak beranjak, tidak tahu bagaimana reaksinya tentangku karena saat itu seorang wanita bergaun merah marun mendekat, kemudian mulai memasang rangkaian bunga lilac di rambutnya. Tanpa sadar aku tersenyum ; tentu saja dia akan memakai bunga favoritnya di hari istimewanya, lagipula aku tahu betapa keras kepalanya dia : dia pernah mengobrak-abrik pasar bunga pagi Yunani yang tenang hanya demi segebung bunga lilac yang baru saja dipetik. Aku tidak tahu bagaimana caranya untuk mendapatkan bunga itu sekarang, mengingat saat ini sudah memasuki musim gugur dan setahuku kebanyakan bunga lebih memilih tidur di dalam umbinya daripada bertempur dengan angin yang tidak akan pernah bisa bekerjasama.
Wanita bergaun merah marun itu pergi ke sudut ruangan, kelihatannya mencari sesuatu di dalam tas hitamnya, meninggalkan si gadis di depan cermin tersenyum memandangi dirinya, kemudian kembali memandangiku. Hiasan bunga lilac terpasang rapi di sanggul rambutnya, menebarkan wangi yang selalu mengingatkanku pada aroma padang bunga di musim panas : aroma parfumnya.
Tentu saja aku mencintainya. Siapa yang tidak ? Gadis luar biasa seperti dia, seseorang yang memahamiku bahkan tanpa aku bicara, seseorang yang menghiburku bahkan ketika kesedihanku berbalut dengan tawa, seseorang yang tahu bahwa aku mencintainya….
” Kemarilah, ” katanya. ” TIdakkah kau ingin memanggilku dengan nama lahirku untuk terakhir kalinya ? ”
” Jane Allison Mckinley, ” bisikku, merogoh saku tuksedoku dan menyerahkan sebuah pita rambut padanya. ” Something old, something blue. ”
Dia tertawa, kemudian segera memasang pita itu di rambutnya, tepat di atas rangkaian lilacnya. ” Kau tidak lupa. Yunani, hmm ? ”
Aku tahu kami mengenang memori yang sama. Memori ketika kami berdua mempertengkarkan hal yang sejujurnya konyol : apakah tradisi ‘something old something blue’ itu penting dan beberapa jam kemudian kami menemukan pita tua berwarna biru ini, tersangkut di semak rhododendron merah muda. Entah bagaimana saat itu kami tahu bahwa ‘something old, something blue’ sama pentingnya seperti perkataan ‘ya’ dari mempelai wanita kepada pengantin pria.
Selama beberapa waktu, mungkin beberapa detik, mungkin sepuluh menit, atau mungkin sudah beberapa jam, kami hanya saling memandang, menikmati kehadiran satu sama lain. Menikmati bahwa dia ada di sini, di depanku, memakai gaun pengantinnya untukku, dan dengan sukarela akan mengganti nama belakangnya dengan nama belakangku. Kemudian seseorang menepuk bahuku, menggumam tak jelas mengenai sesuatu yang kedengarannya seperti para tamu sudah datang dan upacara akan segera dimulai. Aku masih menatapnya ; dia tertawa kemudian mengusirku dan segera menutup pintu. Aku berdiri terkesima.
Suara dengung percakapan dan tut tut kontinyu membuatku terpaku. Apakah para tamu sudah datang ? Aku berjalan, kemudian berbelok, terus berbelok, berbelok….
Aku memandangi langit-langit berwarna putih di atas kepalaku, tidak mengerti. Bukankah seharusnya aulanya didekorasi dengan warna biru ?
Aku mengangkat tanganku, berniat untuk menggosok mataku, memastikan bahwa yang kulihat itu memang langit-langit putih di atas kepalaku alih-alih langit-langit aula berdekorasi lampion biru, akan tetapi ada yang menahanku : aku tidak bisa menggerakkan tanganku.
Aku melirik ke sekelilingku, kemudian mataku tertumbuk pada sosok Mom. Beliau menyadari pandanganku, kemudian segera menghampiriku. Matanya tidak pernah terlihat sebengkak itu….
Mengabaikan bunyi tut tut tut kontinyu di sebelah kananku, aku berusaha menanyakan apa yang terjadi pada Mom, tetapi tidak ada yang keluar. Hanya erangan tidak jelas yang keluar dari mulutku. Setetes air mata bening meluncur di pipi Mom yang masih memakai blush on rekomendasiku.
Mom tidak berkata apa-apa, hanya memandangiku dan menangis tanpa suara. Kesadaran mulai menghantamku : apakah aku berada di rumah sakit ? Kulirik lenganku, aku masih memakai tuksedoku, Tunggu, kalau begitu, di mana Jane ?
Suara tut tut tut kontinyu yang tadi kuabaikan langsung menarik perhatianku. Di sebelahku, hanya berjarak beberapa meter, terdapat sebuah tempat tidur. Aku tidak bisa melihat dengan jelas karena tempat tidur itu penuh dengan sosok berbaju putih.
Suara tut tut tut kontinyu menyita perhatianku, berdetak seolah seirama dengan irama jantungku….
Kemudian aku melihatnya. Sosok yang berbaring di tempat tidur di sebelah kananku. Masih mengenakan korsase warna ungu, masih mengenakan gaun pilihanku, masih mengenakan hiasan lilac ungu, hanya saja aroma lilac tidak lagi memenuhi rongga hidungku.
Aku tersentak. Jane ! Apa yang terjadi ?
Kemudian ingatan mulai membanjiri kepalaku. Tentang bagaimana kami saling mengucap janji, tentang bagaimana semua orang berdiri dan tersenyum pada kami, tentang bagaimana aku membantunya menaiki mobil, tentang bagaimana aku yang duduk di kursi pengemudi, tentang bagaimana aku mendengar Jane berteriak dengan wajah ngeri, tentang bagaimana suara klakson yang ditekan dengan keras terus berbunyi, dan tentang bagaimana….aku mengingat semua hal ini.
Aku ingin bangkit, tapi tidak ada bagian tubuhku yang menurutiku. Bahkan jari tanganku hanya tergeletak lemas di sampingku. Kutatap mata ibuku, bersusah payah menanyakan apa yang terjadi padaku dan memberi isyarat bahwa aku ingin melihat istriku. Istriku, Jane Allison Robert….
Mom menggeleng perlahan. Air mata telah sepenuhnya menghapus blush on di pipinya. Aku bertekad bangkit dengan sekuat tenaga, sembari mendengarkan suara tut tut tut kontinya di sebelah kananku, kemudian menyadari bahwa suara itu sedikit berbeda dari sebelumnya. Mungkinkah ? Rasa panik menjalar ke seluruh tubuhku seperti bisa ular.
Aku menoleh ke samping kanan, berusaha dengan sekuat tenaga, kemudian mendapati dengan putus asa bahwa aku hanya bisa memandang bagian kiri tubuh Jane.
Kupaksakan diriku lagi, mengabaikan orang-orang berbaju putih yang berlari-lari dari sebelah kiri, mengabaikan suara tut tut tut yang semakin cepat berbunyi….
Kemudian aku melihatnya.
Gaun putihnya yang berubah warna menjadi merah tua…
Korsase di tangan kanannya yang berbercak merah di bagian daunnya…
Sepatu satinnya yang berubah warna menjadi merah pekat sempurna.
Hal yang terakhir kuingat adalah pita biru di rambutnya, matanya yang terpejam rapat, dan suara tut tut tut kontinyu berubah menjadi semacam sirine yang panjang, sempurna.
Gresik. 21 Agustus 2013