Monthly Archives: August 2016

Hai, Ini Aku

hai ini aku

Hai, ini aku, yang setengah mati menyukaimu, tapi lebih suka menyusupkan diri ke got di samping rumahmu daripada harus mengatakannya padamu. Tentu saja kau sudah bertemu denganku. Nyaris setiap hari malah. Kau tahu, kan? Aku si gadis itu, yang tertawa kelewat girang ketika kau melontarkan lelucon yang jika orang lain mendengarnya pasti langsung menganggapmu sedang tidak baik-baik saja. Tapi, tentu saja, bagiku, kau adalah orang paling humoris sedunia.

Hai, ini aku, yang suka memandangimu ketika kau sedang tidak memperhatikanku. Kau pasti sadar bahwa jika aku lebih suka mengalihkan pandanganku ketika kita berbicara, karena bagiku memandang matamu sama seperti memandang lampu jutaan watt; terlalu terang, menyilaukan, dan tidak tertahankan. Aku sadar bahwa aku sama menggelikannya seperti badut yang kehilangan wig keritingnya.

Hai, ini aku, yang menulis lagi untukmu, karena aku selalu kehilangan kemampuan verbalku jika berhadapan denganmu. Kata-kataku berhamburan, hilang tak tentu arah, kemudian aku akan mulai bercerita tentang apa saja, termasuk cerita tidak bermakna tentang sarapanku yang gosong atau makan siangku yang tidak berubah menunya sejak 3 bulan sebelumnya. Dan seperti biasanya, kau akan memperhatikanku dengan seksama, memandangiku dengan baik hati, kemudian membuatku ingin loncat saja dari menara tertinggi.

Hai, ini aku, yang lebih suka menjawab pertanyaanmu alih-alih mengajukannya. Kalau kau bertanya padaku, dengan gembira aku akan menjawabnya. Masalahnya kau tidak pernah menanyakannya padaku dan untuk hal semacam mengajukan pertanyaan aku sama bodohnya seperti gajah yang baru lahir dari perut ibunya. Terlihat sudah besar, tapi sebenarnya masih terpesona dengan cara kerja dunia.

Hai, ini aku, yang lebih suka menulis ini semua daripada berbicara. Kau tentu mengenalku, dan kalau ditilik dari hal-hal sebelumnya, kau pasti tahu aku menyukaimu. Aku menyukai caramu mendengarkanku membicarakan buku dan film favoritku. Aku menyukai caramu menyanggah ataupun menyetujui pendapatku. Dan kemudian kita akan tertawa. Kalau dipikir-pikir lagi, sebenarnya bukankah ini semua mudah? Ah ya, tentu saja, aku lebih suka menuliskan ini semua dalam jutaan surat daripada mengatakannya. Daripada mengatakan bahwa sejujurnya, kurasa, aku sedang jatuh cinta dan dengan konyolnya ingin bahwa kau mengetahuinya tanpa melibatkan aku yang berbicara.

 

Birmingham, 30 Agustus 2016

 

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Hai, Ini Untukmu

image

Hai, ini untukmu,
Seseorang yang bahkan nama saja aku tidak tahu.
Apalagi kombinasi warna matamu.
Dominan hitam atau sedikit coklat mewarnai pupilmu?
Apakah itu penting bagiku?
Tentu saja, aku tidak bisa memproyeksikan hidupku tanpa tahu kata-kata di matamu.

Hai, ini untukmu,
Aku sudah lelah mencarimu.
Terkadang bahkan kurasa aku sudah kehilangan kewarasanku.
Selalu menoleh ke sana ke mari mencari tanda-tanda keberadaanmu.
Pergi ke ujung dunia hanya untuk berputar kembali ke awal pertanyaan itu.
Sebenarnya di manakah dirimu?

Hai, ini untukmu.
Setengah bumi sudah kuseberangi.
Separo lautan menjadi petaku.
Aku tidak mengada-ada,
Sebenarnya kau ada di mana?

Hai, ini untukmu.
Di sini waktuku hampir habis dan berlalu.
Dan tidak ada satupun tanda darimu.
Apa aku hanya bisa menunggu?
Karena mencari masih saja tidak berhasil untukku?

Hai, ini untukmu.
Orang yang sanggup membuatku gila karena debaran-debaran itu,
Orang yang bisa membuatku tertawa bahkan pada lelucon yang tidak lucu,
Orang yang bisa membuatku bahagia hanya dengan duduk bersama membaca buku,
Orang yang bisa membuatku merasa beruntung karena kita bertemu,
Orang yang membuatku paham bahwa jam-jam panjang itu sepadan dengan waktu yang akan kuhabiskan bersamamu,
Orang yang mengerti bahwa hujan tidak selalu berarti kelabu,
Orang yang kepada siapa aku berbagi jutaan lagu.

Birmingham, 29 Agustus 2016

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Memudar

image

Aku takut, aku takut tentangmu memudar, perlahan, hilang, kemudian berlalu bersama waktu. Memori, kenangan, dan semua apa yang kita torehkan, lenyap begitu saja, bersama periode yang semakin memanjang, terbenam dalam ketidakpastian.

Aku takut, aku takut tentangmu tidak lagi bisa kuingat. Sepotong demi sepotong memori-memori itu, perlahan berubah menjadi kumpulan cerita tidak bermakna. Masih tentang ini semua, tentang warna mata yang tidak lagi kuingat dengan sempurna, sepotong senyum yang tidak lagi terasa benar, terasa terlalu mengada-ada.

Aku takut, aku takut tentangmu hanya berubah menjadi masa lalu yang pantas untuk ditertawakan, sepotong kenangan yang tidak lagi terasa apa-apa. Kau tahu, lebih baik mengingat detail tentangmu dengan seutuhnya daripada merasakan kekosongan yang sama kerasnya seperti orang tuli kehilangan suara.

Aku takut, aku takut tentangmu lebih baik memudar, tertinggal, terlupakan, kemudian berubah menjadi pelajaran bahwa terkadang seberapapun keras kita berusaha, masa lalu akan tetap tertinggal di belakang sana.

Birmingham, 27 Agustus 2016

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Wedding Dress

Clane Gessel Photography

Clane Gessel Photography

Aku memandanginya mematut diri di depan cermin berpinggiran perak setinggi dirinya, membubuhkan sedikit perona di pipi kirinya, melentikkan bulu matanya, merapikan ujung gaunnya, kemudian memandanginya memandangku lewat cermin di depannya, jelas terlihat terkejut tapi senang ; ada seulas senyum merekah di bibirnya yang telah dibubuhi lipstik warna pink pucat dengan hati-hati.

Dia tetap di sana ; aku tetap berdiri di tempatku, mencoba menyampaikan hal-hal yang perlu kusampaikan lewat pandanganku, lewat senyumku. Setelah beberapa detik dia mengedikkan bahunya dan melambaikan tangannya yang dihiasi korsase warna ungu : menyuruhku mendekat.

Aku tidak beranjak, tidak tahu bagaimana reaksinya tentangku karena saat itu seorang wanita bergaun merah marun mendekat, kemudian mulai memasang rangkaian bunga lilac di rambutnya. Tanpa sadar aku tersenyum ; tentu saja dia akan memakai bunga favoritnya di hari istimewanya, lagipula aku tahu betapa keras kepalanya dia : dia pernah mengobrak-abrik pasar bunga pagi Yunani yang tenang hanya demi segebung bunga lilac yang baru saja dipetik. Aku tidak tahu bagaimana caranya untuk mendapatkan bunga itu sekarang, mengingat saat ini sudah memasuki musim gugur dan setahuku kebanyakan bunga lebih memilih tidur di dalam umbinya daripada bertempur dengan angin yang tidak akan pernah bisa bekerjasama.

Wanita bergaun merah marun itu pergi ke sudut ruangan, kelihatannya mencari sesuatu di dalam tas hitamnya, meninggalkan si gadis di depan cermin tersenyum memandangi dirinya, kemudian kembali memandangiku. Hiasan bunga lilac terpasang rapi di sanggul rambutnya, menebarkan wangi yang selalu mengingatkanku pada aroma padang bunga di musim panas : aroma parfumnya.

Tentu saja aku mencintainya. Siapa yang tidak ? Gadis luar biasa seperti dia, seseorang yang memahamiku bahkan tanpa aku bicara, seseorang yang menghiburku bahkan ketika kesedihanku berbalut dengan tawa, seseorang yang tahu bahwa aku mencintainya….

” Kemarilah, ” katanya. ” TIdakkah kau ingin memanggilku dengan nama lahirku untuk terakhir kalinya ? ”

” Jane Allison Mckinley, ” bisikku, merogoh saku tuksedoku dan menyerahkan sebuah pita rambut padanya. ” Something old, something blue. ”

Dia tertawa, kemudian segera memasang pita itu di rambutnya, tepat di atas rangkaian lilacnya. ” Kau tidak lupa. Yunani, hmm ? ”

Aku tahu kami mengenang memori yang sama. Memori ketika kami berdua mempertengkarkan hal yang sejujurnya konyol : apakah tradisi ‘something old something blue’ itu penting dan beberapa jam kemudian kami menemukan pita tua berwarna biru ini, tersangkut di semak rhododendron merah muda. Entah bagaimana saat itu kami tahu bahwa ‘something old, something blue’ sama pentingnya seperti perkataan ‘ya’ dari mempelai wanita kepada pengantin pria.

Selama beberapa waktu, mungkin beberapa detik, mungkin sepuluh menit, atau mungkin sudah beberapa jam, kami hanya saling memandang, menikmati kehadiran satu sama lain. Menikmati bahwa dia ada di sini, di depanku, memakai gaun pengantinnya untukku, dan dengan sukarela akan mengganti nama belakangnya dengan nama belakangku. Kemudian seseorang menepuk bahuku, menggumam tak jelas mengenai sesuatu yang kedengarannya seperti para tamu sudah datang dan upacara akan segera dimulai. Aku masih menatapnya ; dia tertawa kemudian mengusirku dan segera menutup pintu. Aku berdiri terkesima.

Suara dengung percakapan dan tut tut kontinyu membuatku terpaku. Apakah para tamu sudah datang ? Aku berjalan, kemudian berbelok, terus berbelok, berbelok….

Aku memandangi langit-langit berwarna putih di atas kepalaku, tidak mengerti. Bukankah seharusnya aulanya didekorasi dengan warna biru ?

Aku mengangkat tanganku, berniat untuk menggosok mataku, memastikan bahwa yang kulihat itu memang langit-langit putih di atas kepalaku alih-alih langit-langit aula berdekorasi lampion biru, akan tetapi ada yang menahanku : aku tidak bisa menggerakkan tanganku.

Aku melirik ke sekelilingku, kemudian mataku tertumbuk pada sosok Mom. Beliau menyadari pandanganku, kemudian segera menghampiriku. Matanya tidak pernah terlihat sebengkak itu….

Mengabaikan bunyi tut tut tut kontinyu di sebelah kananku, aku berusaha menanyakan apa yang terjadi pada Mom, tetapi tidak ada yang keluar. Hanya erangan tidak jelas yang keluar dari mulutku. Setetes air mata bening meluncur di pipi Mom yang masih memakai blush on rekomendasiku.

Mom tidak berkata apa-apa, hanya memandangiku dan menangis tanpa suara. Kesadaran mulai menghantamku : apakah aku berada di rumah sakit ? Kulirik lenganku, aku masih memakai tuksedoku, Tunggu, kalau begitu, di mana Jane ?

Suara tut tut tut kontinyu yang tadi kuabaikan langsung menarik perhatianku. Di sebelahku, hanya berjarak beberapa meter, terdapat sebuah tempat tidur. Aku tidak bisa melihat dengan jelas karena tempat tidur itu penuh dengan sosok berbaju putih.

Suara tut tut tut kontinyu menyita perhatianku, berdetak seolah seirama dengan irama jantungku….

Kemudian aku melihatnya. Sosok yang berbaring di tempat tidur di sebelah kananku. Masih mengenakan korsase warna ungu, masih mengenakan gaun pilihanku, masih mengenakan hiasan lilac ungu, hanya saja aroma lilac tidak lagi memenuhi rongga hidungku.

Aku tersentak. Jane ! Apa yang terjadi ?

Kemudian ingatan mulai membanjiri kepalaku. Tentang bagaimana kami saling mengucap janji, tentang bagaimana semua orang berdiri dan tersenyum pada kami, tentang bagaimana aku membantunya menaiki mobil, tentang bagaimana aku yang duduk di kursi pengemudi, tentang bagaimana aku mendengar Jane berteriak dengan wajah ngeri, tentang bagaimana suara klakson yang ditekan dengan keras terus berbunyi, dan tentang bagaimana….aku mengingat semua hal ini.

Aku ingin bangkit, tapi tidak ada bagian tubuhku yang menurutiku. Bahkan jari tanganku hanya tergeletak lemas di sampingku. Kutatap mata ibuku, bersusah payah menanyakan apa yang terjadi padaku dan memberi isyarat bahwa aku ingin melihat istriku. Istriku, Jane Allison Robert….

Mom menggeleng perlahan. Air mata telah sepenuhnya menghapus blush on di pipinya. Aku bertekad bangkit dengan sekuat tenaga, sembari mendengarkan suara tut tut tut kontinya di sebelah kananku, kemudian menyadari bahwa suara itu sedikit berbeda dari sebelumnya. Mungkinkah ? Rasa panik menjalar ke seluruh tubuhku seperti bisa ular.

Aku menoleh ke samping kanan, berusaha dengan sekuat tenaga, kemudian mendapati dengan putus asa bahwa aku hanya bisa memandang bagian kiri tubuh Jane.

Kupaksakan diriku lagi, mengabaikan orang-orang berbaju putih yang berlari-lari dari sebelah kiri, mengabaikan suara tut tut tut yang semakin cepat berbunyi….

Kemudian aku melihatnya.

Gaun putihnya yang berubah warna menjadi merah tua…

Korsase di tangan kanannya yang berbercak merah di bagian daunnya…

Sepatu satinnya yang berubah warna menjadi merah pekat sempurna.

Hal yang terakhir kuingat adalah pita biru di rambutnya, matanya yang terpejam rapat, dan suara tut tut tut kontinyu berubah menjadi semacam sirine yang panjang, sempurna.

 

Gresik. 21 Agustus 2013

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Tentang Waktu: Sebuah Cerita, Untukmu

image

Selalu saja tentang waktu.
Berdetik, pelan, kemudian berlalu.
Bisa pula menghabiskan seluruh periode itu.
Ironis, bisa pula sesuatu yang lucu.
Setengah mati memaksaku untuk tertawa pilu.

Tentang waktu,
Biarkan kuceritakan sesuatu padamu.
Bahwa setelah sejuta tahun menunggu,
Dari semenjak para dinosaurus kehilangan gigi susu,
Dan para mammoth menumbuhkan bulu-bulu,
Akhirnya aku bertemu denganmu.

Bertemu denganmu adalah salah satu hal luar biasa dalam hidupku.
Selama ini aku selalu membayangkan perasaan meledak dan kupu-kupu,
Nyatanya adalah aku sudah bahagia tahu bahwa buku favoritmu,
Adalah buku nomor satu bagiku.

Aku sudah senang,
Karena ketika kita berbincang,
Kau juga menganggap film itu terlalu berlebihan.
Sedangkan film lain kurang mendapat perhatian.
Bayangkan saja ketika aku tahu apa cita-citamu!
Tentu saja melibatkan hari sederhana, perpustakaan mini, dan buku-buku.
Bagaimana aku tahu?
Aku nyaris tercengang mendengar impianku keluar dari mulutmu.

Ah, tentang waktu.
Biar kuceritakan sesuatu padamu.
Karena setelah sejuta tahun menunggu orang yang paham rasanya membuka buku baru,
Semua ini mulai terlihat tidak lucu.

Tentang waktu.
Pada akhirnya aku hanya bisa berharap waktu akan berbalik untukku.
Berbaik hati mempertemukan kita di waktu yang lebih dulu.
Sebelum kau bertemu dengannya,
Lebih dulu kau bertemu denganku.

Tentang waktu,
Cerita ini sama lucunya seperti peri gigi berusaha menyulap kursi kayu.
Mustahil, menyedihkan, tapi sama sekali tidak lucu.
Tidak lucu karena setelah kita bertemu,
Ada orang lain yang mengharapkanmu,
Untuk mengisi waktu.
Untuk masa depan,
Yang tidak terlalu jauh.
Sepanjang sisa waktumu.
Birmingham, 20 Agustus 2016

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Sore Itu

image

Sore itu, matahari tenggelam di matamu.
Gelap, menggelap, menciptakan barisan abu-abu.
Tidak hitam, tidak pekat.
Masih ada setitik sinar kegembiraan itu.
Yang kemudian perlahan semakin tersapu.

Sore itu, langit bersiap menumpahkan hujan di pipimu.
Gerimis, menderas, kemudian badai di detik itu.
Merendakan butiran-butiran besar kesedihanmu.
Menghapus seketika pelangi di hari itu.

Sore itu, laut membawa pasang ke hatimu.
Membuat gelombang-gelombang tak bernama ke palung di dalam sana.
Tidak ada surut, hanya pasang yang semakin menggila.
Tidak ada yang tahu jawaban ‘mengapa’.

Sore itu, dunia runtuh di kakimu.
Porak-poranda, tanpa peringatan sebelumnya.
Seperti burung yang kehilangan sayapnya,
Kau hanya berdiri di sana,
Mematung,
Memandang dunia yang telah kehilangan pesonanya.

Birmingham, 18 Agustus 2016

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Wounds

wounds

Sometimes we got bruises, a wound that can be easily fixed with simple aid, a bandage, and hot chocolate. I remember I got that kind of wounds when I was five. Of course, I cried, but then my mum smiled, told me that it was not anything. She embraced me, and the scent of her perfume filled my lungs then I was too busy to smelled it to continued my weeping. We entered the house, and a cup of hot chocolate gradually made the wounds better.

It is just me again, twenty-something, got some bruises again. However, right now I am drinking a cup of hot chocolate, embracing myself, trying to picture the smell of my mum’s perfumes. Luckily, I can remember all of those sensations. Unfortunately, it does not feel like that anymore. I am feeling okay, but I am not fine at all.

It just got me thinking that the unseen wounds are the worst, the kind we can not heal easily. They still are there, make another scar, make another memory. You would be lucky if those wounds do not feel sting or hurt, but I am pretty sure that they will be there forever, unseen. Deep down you will always know that they will never disappear. That kind of wounds is like mementoes, a gift from the past, to become a lesson, to make us understand that life is not perfect. Life is the biggest mystery of trial and error.

 

Birmingham, 15 Agustus 2016

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Aku Berpura Tidak Tahu Kau Sedang Berpura: Dari Sudut Pandang Tuan Muda

image

Tentu saja aku tahu ada yang salah denganmu.
Matamu terlihat tidak selebar biasanya.
Jutaan bintang di sepasang mata berangsur menghilang bersama alunan kata-kata.
Kau bahkan terlihat terlalu memaksakan tawa.

Aku tahu kau sedang berpura.
Bahwa semua baik-baik saja.
Bahwa kau sedang tidak terluka.
Bahwa endorfin mengalir bersama bunga dan langit biru di atas sana.

Aku melontarkan leluconku.
Kau tertawa untukku.
Aku lega saat sepersekian detik itu jutaan bintang kembali bersinar di matamu.
Aku meneruskan gurauanku.

Aku tahu kau sedang terluka.
Oleh karena itu aku tidak pergi ke mana-mana.
Aku tetap berada di sampingmu,
Meski tanpa melakukan apa-apa.
Mengajakmu bercanda adalah caraku menunjukkan aku selalu berada di sana.

Aku sengaja tidak menanyaimu ada apa.
Karena aku tahu kau pasti bercerita.
Ketika saatnya tiba.
Aku tahu kau berpura.
Dan sengaja berpura bahwa aku tidak tahu kau sedang berpura.

Birmingham, 11 Agustus 2016

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Berpura: Dari Sudut Pandang si Nona

image

Kau pasti tidak tahu apa yang sedang terjadi padaku,
Apakah ini apakah itu?
Aku terlalu pandai berpura,
Ataukah kau memang tidak pandai membaca apa-apa.

Kupaksakan senyum di bibirku,
Kau tersenyum balik untukku.
Kau lemparkan leluconmu,
Tentu saja dengan segera aku tertawa untukmu.

Tidak mudah untuk berpura.
Seolah semua baik-baik saja.
Seakan semua sempurna.
Tidak ada satu hal pun yang tidak pada tempatnya.

Terkadang aku lelah untuk berpura.
Hanya saja lebih mudah melakukannya.
Daripada bercerita mengenai segalanya.
Menghapus senyum lega di sana.

Aku lebih suka melihatmu tertawa.
Melihat jutaan kerlip bintang di sepasang mata.
Mendengarmu bercerita mengenai segalanya.
Lebih mudah berpura,
Daripada melihatmu bersedih dan terluka.

Birmingham, 11 Agustus 2016

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Bandara: Sebuah Cerita

image

Aku selalu menyukai bandara karena dalam hitungan detik, wajah-wajah menanti itu tersenyum, terlihat lega ketika orang yang pergi kembali pulang, kembali datang, kembali berada di jangkauan tangan.
Bandara adalah salah satu tempat yang aneh, salah satu tempat di mana kau bisa menyaksikan secara langsung bagaimana emosi seseorang terlihat nyata, tanpa berpura, tersenyum lega atau menguatkan diri untuk mengucap sampai jumpa.
Sampai jumpa di lain waktu, mungkin di bandara yang sama di waktu yang berbeda ataupun di bandara yang berbeda, dengan orang yang berbeda.
Selalu menyenangkan berada di sini, mengamati orang berlalu lalang, tersenyum, bersemangat berbagi cerita, tentang apa yang telah terlewat, tentang pengalaman baru yang tidak bisa diukur dengan apapun juga.
Bandara adalah persinggahan, tempat terakhir ketika kau akan pergi, dan juga tempat pertama ketika kau datang kembali.

Birmingham, 11 Agustus 2016

Leave a comment

Filed under Uncategorized