Aku sedang mempertimbangkan dengan serius ingin makan siang apa: gado-gado dan pecel sedang berpresentasi habis-habisan di dalam kepalaku ketika kau dengan tampang amburadulmu yang biasa datang dengan berisik dan duduk di depanku, tanpa permisi menyomot siomayku yang menjadi makanan pembukaku siang itu. Aku tidak menggubrismu sama sekali, masih terlarut dalam pro dan kontra gado-gado dan pecel (apa aku pesan saja dua-duanya?), kemudian teringat pada sumpahku sendiri minggu lalu bahwa makan siang yang berlebihan tidak pernah berakhir baik; minggu lalu aku sukses nyaris tertidur saat rapat (apakah resiko ledakan akan bertambah jika langit-langit plant terbuat dari asbestos?) dan tentu saja mukaku diselamatkan oleh asistenku yang brilian, dengan tepat memaparkan efek jangka panjang asbestos, memberiku cukup waktu untuk menyusun argumen yang lebih menyakinkan (melibatkan gabungan efek asbestos bagi manusia dan lingkungan serta program monitoring yang mahal) dan memberikan dampak yang sudah kuperkirakan: si langit-langit asbestos hanya menjadi kenangan. Di manapun kita bekerja, topik mengenai budget dan biaya sama ampuhnya seperti bom nuklir: tepat sasaran, efektif, dan mematikan. Mematikan rencana-rencana bodoh tanpa dasar, maksudku, jika kita bisa cukup kuat untuk beradu argumen yang kadang-kadang menjadi kelewat mustahil dan menyebalkan.
Menghela nafas panjang, aku sadar bahwa aku hanya bisa memilih salah satu: gado-gado atau pecel? Oh ya, aku juga sudah makan siomay.
“Fa,” panggilmu.
“Hmmmm,” gumamku tanpa minat.
“Lo dengerin gue ga sih?”
“Hmmm,”
“Hmm hmm mulu. Menurut lo, bagusan air sampling pake direct measurement apa pake analisa lab? Si Dena yang ngurusin tesnya cantik sih,”
“Serah lo deh, Ky.”
“Lah kok gitu. Lo lagi badmood ya? Kenapa kenapa cinta?” tanyamu sembari melinting lengan bajumu sesiku.
“Cinta ga bikin kenyang. Gak apa-apa. Pengen ke museum.” kataku.
“Natural history? Yuk yuk.”
Kali ini aku hanya menatapmu tanpa ekspresi. Kita berdua bertemu di London 2 tahun lalu, sama-sama sedang berjuang menyelesaikan master. Kalau dipikir-pikir lagi, perjumpaan kita saat itu lumayan lucu juga.
Aku sudah muak dengan essay 5000 kataku (make environmental impact assessment for the project) dan yang aku tahu tiba-tiba saja aku sudah berada di London, sendirian, sedang memandangi tiruan dugong di Natural History Museum. Dugong adalah awal mula legenda putri duyung, akan tetapi aku tidak bisa melihat kemiripan mereka mengingat dugong adalah mamalia gendut berkumis lucu yang sama sekali tidak mirip putri duyung (si putri duyung tidak sedang diet kan?). Aku tertawa tertahan.
“Hai,” tiba-tiba saja seseorang menyapaku.
Aku menoleh, menyahut “hai” padamu yang bermuka sangat melayu. Pikiran pertamaku adalah kau orang Malaysia yang juga mengira aku orang Malaysia karena aku sudah bosan disangka orang Malaysia di mana-mana. Di kereta, di tube, bahkan sebelum ke sini ada seseorang bertanya arah padaku, bukan dalam bahasa Inggris, tapi bahasa Malaysia.
“Suka dugong?” tanyamu.
“Not really, ” jawabku, memakai bahasa Inggris, supaya kau memakainya juga (aku sedang enggan memutar otak, berusaha mengartikan bahasa Malaysia).
“Lucu ya, gue ga abis pikir orang-orang bisa ngira dia putri duyung.” katamu.
“Eh, orang Indo? Kenapa ga bilang dari tadi? Gue pikir lo Malaysian.” kataku.
“Hahaha. Habisnya lo jutek gitu.”
“Ya gimana, gue lagi ga minat ngobrol ala ipin upin.”
Kau tertawa.
“Londoners?” tanyaku.
“Yes. UCL. Lo?”
“Birmingham. Numpang refreshing doang.”
“Kok tau gue orang Indo?” tanyaku.
“Jaket lo tuh.”
Aku baru sadar aku memakai jaket S1 ku yang bertuliskan nama almamaterku.
Dan entah apa yang terjadi, sejak itu kita berteman. Kau juga suka museum jadi kalau aku ke London (kebanyakan mengunjungi berbagai jenis museum), kau selalu menemaniku. Persahabatan kita berlanjut sampai sepulangnya kita ke Indonesia. Entah bagaimana, kita bekerja di gedung yang sama di daerah Sudirman.
“Lo gila?” tanyaku.
“Lah kenapa engga? Kita selalu suka Natural History Museum kan? Mau ga? Ambil cuti aja, Fa. Gue juga kangen London.”
“Berdua doang?”
“Ya ajakin siapa gitu tapi gue rasa ga bakal ada yang betah nemenin lo ke museum-museum selain gue.” kau tertawa.
“Iya sih.”
“Tuh kan. Bulan depan yuk.”
“Yah, apa kata mak gue dong, berdua sama cowok doang ke sana. Siapa yang mau jadi suami gue dong.”
“Ya udah, kita nikah dulu.” katamu.
Aku tertawa. “Halah, apaan sih, Ky.”
“Gue beneran, Fa. Nikah yuk.”
Aku tertawa, memandangmu, menantikan kau ikut tertawa. Tapi ternyata, sampai tawaku habis, kau tidak tertawa. Tunggu, kau serius?
“Lo serius?” kataku, syok.
“Menurut lo ngelamar orang itu bisa jadi bahan becandaan? Gue serius. Lo mau ga? Abis itu kita ke London sama Belfast. Gue pengen ke Belfast.”
“Lo ga ngelamar gue gara-gara pengen ditemenin jalan kan?” tanyaku, penuh selidik.
Kali ini kau yang memandangiku. “Lo udah gila, Fa?”
Dan aku tahu bahwa kau serius. Sesederhana itu, dan mendadak urusan pecel dan gado-gado terlihat tidak penting lagi. Aku harus diet, karena aku tidak mau terlihat seperti dugong yang memakai kebaya.
Birmingham, 30 Januari 2016