Monthly Archives: January 2016

Tentang Dugong, Natural History Museum, dan Kebaya

NHS

Aku sedang mempertimbangkan dengan serius ingin makan siang apa: gado-gado dan pecel sedang berpresentasi habis-habisan di dalam kepalaku ketika kau dengan tampang amburadulmu yang biasa datang dengan berisik dan duduk di depanku, tanpa permisi menyomot siomayku yang menjadi makanan pembukaku siang itu. Aku tidak menggubrismu sama sekali, masih terlarut dalam pro dan kontra gado-gado dan pecel (apa aku pesan saja dua-duanya?), kemudian teringat pada sumpahku sendiri minggu lalu bahwa makan siang yang berlebihan tidak pernah berakhir baik; minggu lalu aku sukses nyaris tertidur saat rapat (apakah resiko ledakan akan bertambah jika langit-langit plant terbuat dari asbestos?) dan tentu saja mukaku diselamatkan oleh asistenku yang brilian, dengan tepat memaparkan efek jangka panjang asbestos, memberiku cukup waktu untuk menyusun argumen yang lebih menyakinkan (melibatkan gabungan efek asbestos bagi manusia dan lingkungan serta program monitoring yang mahal) dan memberikan dampak yang sudah kuperkirakan: si langit-langit asbestos hanya menjadi kenangan. Di manapun kita bekerja, topik mengenai budget dan biaya sama ampuhnya seperti bom nuklir: tepat sasaran, efektif, dan mematikan. Mematikan rencana-rencana bodoh tanpa dasar, maksudku, jika kita bisa cukup kuat untuk beradu argumen yang kadang-kadang menjadi kelewat mustahil dan menyebalkan.

Menghela nafas panjang, aku sadar bahwa aku hanya bisa memilih salah satu: gado-gado atau pecel? Oh ya, aku juga sudah makan siomay.

“Fa,” panggilmu.

“Hmmmm,” gumamku tanpa minat.

“Lo dengerin gue ga sih?”

“Hmmm,”

“Hmm hmm mulu. Menurut lo, bagusan air sampling pake direct measurement apa pake analisa lab? Si Dena yang ngurusin tesnya cantik sih,”

“Serah lo deh, Ky.”

“Lah kok gitu. Lo lagi badmood ya? Kenapa kenapa cinta?” tanyamu sembari melinting lengan bajumu sesiku.

“Cinta ga bikin kenyang. Gak apa-apa. Pengen ke museum.” kataku.

“Natural history? Yuk yuk.”

Kali ini aku hanya menatapmu tanpa ekspresi. Kita berdua bertemu di London 2 tahun lalu, sama-sama sedang berjuang menyelesaikan master. Kalau dipikir-pikir lagi, perjumpaan kita saat itu lumayan lucu juga.

Aku sudah muak dengan essay 5000 kataku (make environmental impact assessment for the project) dan yang aku tahu tiba-tiba saja aku sudah berada di London, sendirian, sedang memandangi tiruan dugong di Natural History Museum. Dugong adalah awal mula legenda putri duyung, akan tetapi aku tidak bisa melihat kemiripan mereka mengingat dugong adalah mamalia gendut berkumis lucu yang sama sekali tidak mirip putri duyung (si putri duyung tidak sedang diet kan?). Aku tertawa tertahan.

“Hai,” tiba-tiba saja seseorang menyapaku.

Aku menoleh, menyahut “hai” padamu yang bermuka sangat melayu. Pikiran pertamaku adalah kau orang Malaysia yang juga mengira aku orang Malaysia karena aku sudah bosan disangka orang Malaysia di mana-mana. Di kereta, di tube, bahkan sebelum ke sini ada seseorang bertanya arah padaku, bukan dalam bahasa Inggris, tapi bahasa Malaysia.

“Suka dugong?” tanyamu.

“Not really, ” jawabku, memakai bahasa Inggris, supaya kau memakainya juga (aku sedang enggan memutar otak, berusaha mengartikan bahasa Malaysia).

“Lucu ya, gue ga abis pikir orang-orang bisa ngira dia putri duyung.” katamu.

“Eh, orang Indo? Kenapa ga bilang dari tadi? Gue pikir lo Malaysian.” kataku.

“Hahaha. Habisnya lo jutek gitu.”

“Ya gimana, gue lagi ga minat ngobrol ala ipin upin.”

Kau tertawa.

“Londoners?” tanyaku.

“Yes. UCL. Lo?”

“Birmingham. Numpang refreshing doang.”

“Kok tau gue orang Indo?” tanyaku.

“Jaket lo tuh.”

Aku baru sadar aku memakai jaket S1 ku yang bertuliskan nama almamaterku.
Dan entah apa yang terjadi, sejak itu kita berteman. Kau juga suka museum jadi kalau aku ke London (kebanyakan mengunjungi berbagai jenis museum), kau selalu menemaniku. Persahabatan kita berlanjut sampai sepulangnya kita ke Indonesia. Entah bagaimana, kita bekerja di gedung yang sama di daerah Sudirman.

“Lo gila?” tanyaku.

“Lah kenapa engga? Kita selalu suka Natural History Museum kan? Mau ga? Ambil cuti aja, Fa. Gue juga kangen London.”

“Berdua doang?”

“Ya ajakin siapa gitu tapi gue rasa ga bakal ada yang betah nemenin lo ke museum-museum selain gue.” kau tertawa.

“Iya sih.”

“Tuh kan. Bulan depan yuk.”

“Yah, apa kata mak gue dong, berdua sama cowok doang ke sana. Siapa yang mau jadi suami gue dong.”

“Ya udah, kita nikah dulu.” katamu.

Aku tertawa. “Halah, apaan sih, Ky.”

“Gue beneran, Fa. Nikah yuk.”

Aku tertawa, memandangmu, menantikan kau ikut tertawa. Tapi ternyata, sampai tawaku habis, kau tidak tertawa. Tunggu, kau serius?

“Lo serius?” kataku, syok.

“Menurut lo ngelamar orang itu bisa jadi bahan becandaan? Gue serius. Lo mau ga? Abis itu kita ke London sama Belfast. Gue pengen ke Belfast.”

“Lo ga ngelamar gue gara-gara pengen ditemenin jalan kan?” tanyaku, penuh selidik.

Kali ini kau yang memandangiku. “Lo udah gila, Fa?”

Dan aku tahu bahwa kau serius. Sesederhana itu, dan mendadak urusan pecel dan gado-gado terlihat tidak penting lagi. Aku harus diet, karena aku tidak mau terlihat seperti dugong yang memakai kebaya.

Birmingham, 30 Januari 2016

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Sedikit Cerita Tentang Jatuh Cinta

image

Terkadang, tidak penting dengan siapa kita jatuh cinta, karena toh pada akhirnya dengan siapa yang ditakdirkan lah kita akan bersama. Di dunia ini tidak semua orang bisa bersua dan menjalin satu cerita, sama tidak mungkinnya seperti menukar dua sepatu bekasmu dengan lima pasang sepatu yang belum bernoda. Kau jatuh cinta beberapa kali, merasakan debaran-debaran yang pada saat itu kau anggap nyata dan sudah seharusnya, tapi pada akhirnya, debaran-debaran itu ada yang berubah menjadi kekecewaan dan penyesalan. Dan saat itu pula kau mulai bertanya-tanya apakah yang kau rasakan itu cinta?

Terkadang kau bertemu seseorang dan menyukainya dengan cara yang nyaris bisa kau definisikan sebagai cinta. Kabar baiknya dia juga menyukaimu. Kabar buruknya yah, alam semesta enggan berkata ‘ya’ padamu dan berpendapat bahwa kalian belum bisa bersama, atau…memang tidak ditakdirkan bersama.
Kau tahu maksudku bukan mengapa mencintai orang yang sudah ditakdirkan untukmu sejuta kali lebih mudah daripada meminta orang yang kau cintai menjadi takdirmu?

Kau bisa mencintai orang yang sudah ditakdirkan untukmu, tapi tidak semudah itu untuk menjadi takdir orang yang kau cintai. Kalau pada akhirnya dia menjadi orang yang menggandeng tanganmu, yah berarti sejak awal memang dia adalah orang yang namanya bersanding dengan namamu di hadapan tuhan dan semesta. Kalau tidak, yah, kurasa tuhan hanya sedang memberimu pelajaran bahwa tidak semudah itu untuk jatuh cinta. Atau mungkin apa yang kau rasakan itu sama sekali bukan cinta, hanya keinginan yang kelewat bersemangat dibumbui oleh harapan-harapan dan mimpi seluas galaksi andromeda.
Kurasa pada titik ini hanya berdoa lah yang bisa kau lakukan, mengingat sekeras apapun kau berusaha, jika orang yang namanya ada di sampingmu bukan orang yang saat ini ada di dekatmu, kalian tidak akan bisa berbagi cerita, kecuali hanya yang bersifat sementara. Sebaliknya, sekeras apapun kau menolaknya, jika dia adalah yang tertulis untuk menemanimu sampai tua, maka semesta akan menemukan jalan untuk menyetujui segalanya dan mengatakan ‘ya’. Lagipula toh pada akhirnya, bukankah Tuhan yang mengatur segalanya?

Depok, 25 Mei 2015

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Tentang Membaca Sebuah Buku

image

Tidak semua orang suka membaca buku, jadi jika ada orang yang bertanya mengapa beberapa orang tidak suka membaca buku, kurasa jawabannya akan serima dengan mengapa beberapa orang tidak suka musik yang terlalu keras. Ada banyak alasan dan menjabarkan alasan-alasan itu akan sangat melelahkan, jadi lebih menyenangkan jika alasan-alasan mengapa beberapa orang suka membaca buku-lah yang kita bahas bersama.

Aku sangat menyukai buku dan kurasa alasannya sederhana: aku bisa melihat dunia baru, dunia yang digambarkan penulisnya. Kau tahu, ketika kau membaca sebuah buku, kau merelakan sebagian waktumu untuk mengikuti pikiran si penulis, pandangannya tentang suatu hal, impiannya yang mungkin belum terlaksana di dunia nyata, harapannya tentang bagaimana sesuatu seharusnya terjadi alih-alih apa yang benar-benar terjadi, ceritanya tentang dunia yang sebelumnya mungkin hanya eksis di dalam kepalanya, dan kesulitan-kesulitan masa lalu yang telah dihadapinya. Kau tahu, kebanyakan penulis mendapatkan inspirasi dari kejadian-kejadian yang dialaminya, mengolahnya kembali dalam balutan harapan dan dunia ‘seandainya’. Ketika kau membaca sebuah buku, kurang kebih kau akan memahami beberapa fragmen hidup penulisnya. Sadar ataupun tidak, seorang penulis akan menuliskan beberapa bagian kehidupannya, pengalaman pribadinya, dan sebagian jiwanya. Menulis adalah tentang mengubah sebuah jiwa ke dalam kata-kata.

Sejauh ini, bagiku, filosofi membaca sebuah buku sama dengan mengenal seseorang yang baru. Kadang kau menyukainya, kadang kau menganggap ceritanya terlalu mengada-ada. Dan terkadang pula, mungkin saja si penulis sudah kehabisan kata-kata karena semua kata-kata itu sudah diubahnya dalam bentuk tinta.

Kalau kau bertanya padaku, mengapa aku suka membaca buku, kurasa salah satu jawabanku akan membahas tentang bagaimana seorang penulis akan merasa bahagia jika karyanya dibaca.

Birmingham, 25 Januari 2016

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Analogi Buku Baru

image

Seharusnya aku tahu bahwa merindukanmu kurang lebih sama seperti menginginkan buku baru. Buku baru itu merupakan serial favoritku, yang tentu saja akan menjawab semua pertanyaan-pertanyaanku tentang tokoh utamanya. Apakah dia akan melanjutkan perjalanannya? Apakah dia tahu bahwa di ujung sana seseorang menunggunya? Apakah dia tahu bahwa gadis yang baru saja dibentaknya mencintainya dengan sebegitu rupa? Berbagai macam pertanyaan yang jelas akan terjawab oleh buku berikutnya.

Aku tahu buku baru itu akan datang, tapi aku juga tidak tahu kapan tepatnya hal itu akan terjadi.
Begitu pula dengan rasa rinduku. Aku tahu rasa rindu itu akan datang (bahkan selalu), hanya saja aku tidak tahu bahwa kapan rasa rindu ini akan berakhir. Barangkali kalau aku bertemu denganmu?

Seperti rasa rindu, bertemu denganmu juga nyaris terasa seperti menginginkan buku baru. Aku sangat ingin bertemu denganmu, hanya saja aku tahu bahwa ketika aku bertemu denganmu, aku tidak bisa melakukan apa-apa. Kurasa aku hanya akan berdiri mematung di depanmu, tidak melakukan apa-apa, bahkan sesederhana mengucapkan salam sapa. Rasanya hampir mirip seperti memegang buku baru itu di tanganku, akan tetapi yang bisa kulakukan pada detik-detik pertama adalah memandanginya, tidak kuasa menyobek sampul plastiknya karena buku itu terlihat sangat rapi dan menawan, bahkan walaupun dengan rasa penasaran yang sama dalamnya seperti palung paulina.

Menginginkanmu sama seperti menginginkan buku baruku. Aku ingin menyelesaikannya dan mengetahui semua jawabannya, akan tetapi pada saat-saat halaman itu berakhir, aku takut mengakhirinya. Aku takut mengetahui akhirnya, apakah si tokoh utama pada akhirnya mengetahui gadis itu mencintainya atau cerita mereka berakhir setragis Romeo-Juliet, apakah si tokoh utama sampai pada tujuannya alih-alih tersesat di sebuah tempat tanpa nama, dan detail-detail lainnya. Meskipun aku ingin mengatakan rindu padamu dan bersikeras ingin tahu apa pendapatmu mengenai ini semua, kurasa pada detik-detik terakhir itu saat kita berdiri saling berhadapan dan terpesona pada keheningan canggung kita, aku berubah pikiran. Aku hanya takut kau berpendapat berbeda dan mengatakan bahwa ini semua sia-sia belaka. Lagipula aku juga takut bahwa kau merusak pendapatku mengenai buku baru.

Depok, 22 Maret 2015

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Spark

spark

I always know that between two certain people, there is this kind of thing that only exist among them. You know, the spark, the weird effect that draws two people together and makes them closer? They are the luckiest people alive, I guess. I mean that not everyone know how those sparks work, though of course, we know that the thing is real. The thing exist.

People who have those sparks will look different, the kind of look that can only be described with … happy? A true happiness. The kind of happiness like when you were a kid and got your A mark for the very first time and came home and wanted to showed it to mommy badly. That kind of happiness and maybe … proudness?

How the spark works and how they exist only for those certain two people are something very mysterious to me. I mean, we cannot see it, like literally see it, but we can feel it.

Some days ago I saw an old couple. The woman used a wheelchair while the man, who looks healthy, fed her. “aww” and “oh my god they are so sweet” never felt enough for me. For me, the old couple is the definition of spark.

We live every day, meet someone new, pay attention to them, like them. For the very rare event, we love them.

I think those sparks only exist for two people who love each other. I guess it is the real deal that the feeling is real.

 

Sragen, 22 Juni 2015

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Bumi Ini Bukan Kue, Bola, dan Semangka

image

Aku selalu berpendapat,
Bumi ini pepat.
Seperti bola yang kubeli sewaktu berada di kelas empat.
Mengabaikan makan siang, kita membelinya di beberapa tempat.

Aku selalu mengira,
Bumi ini seperti bola.
Bundar bulat seperti semangka.
Sempurna.
Bisa dibelah sama rata.
Kalau aku ingin,
Kumakan saja separonya.

Aku selalu tahu,
Bumi ini seperti kue ulang tahunku.
Kau tahu kan, saat aku selesai meniup lilinku,
Aku akan membaginya pada teman-temanku.
Kau mendapatkan kue ketiga setelah ayah ibuku.

Aku selalu bahagia,
Ketika menyamakan bumi ini dengan kue, bola, dan semangka.
Karena dengan demikian aku bisa membaginya sama rata.
Bisa kukurangi jarak dan ukurannya.

Hanya saja bumi ini bukan salah satu di antaranya.
Aku tidak bisa begitu saja membelahnya,
Mengurangi jaraknya.
Mendekatkan tempat kita berada.
Aku di sini dan kau di sana.
Sama-sama sedang makan semangka.
Hanya saja, tidak ada yang berubah dari tempat kita berada.
Benua Eropa dan Asia masih sama jauhnya!
Kurasa mereka tidak terlalu suka semangka.

Birmingham, 25 Januari 2016

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Halo, Hati

image

Halo hati,
apa kabarmu malam ini?
Apa kau sudah lelah menanti?
Atau kau masih saja mencari?
Dalam artian semua ini,
pernahkah kau berpikir untuk berhenti?

Halo hati,
terkadang yang kau ingin tidak semua dapat terjadi,
Kau ingin begini,
tapi hati yang lain berpendapat seperti ini.

Halo hati,
apakah menurutmu kau kelewat lama sendiri?
Bahwa tidak ada satupun hati lain yang bisa kau mengerti.
Di dunia seluas ini,
bagaimana mungkin tak ada satupun yang bisa kau pahami?

Halo hati,
aku tahu bahwa memahami dan dipahami itu berbeda arti.
Kau memahami hati yang ini,
sementara hati itu mengucapkan sampai jumpa lagi.
Hati yang lain mengucapkan selamat pagi,
yang bisa kau lihat hanyalah tornado mini.

Halo hati,
aku tahu terkadang kau merasa frustasi.
Bagaimana mungkin di dunia ini hati tidak bisa bertemu hati?
Kalaupun bertemu, hati-hati itu hanya menganggapmu setengah hati.
Setengahnya lagi lebih cocok diumpankan pada hiu di laut mati.
Seakan saat ini kau masih bisa dipecah lagi.

Halo hati,
aku tahu bahwa kau pernah hancur menjadi potongan mini.
Saat itu kau hanya kubiarkan seorang diri.
Tak mau tahu apa yang sedang kau alami,
kukubur kau dalam-dalam bersama harga diri.
Maafkan aku, hanya saja saat itu aku tak sanggup memandangi ratusan keping hati.
Pecah, remuk, berkilat, hampir mati.

Halo hati,
aku yakin di luar sana pasti ada pelangi.
Begitu juga pasti ada hati lain memahamimu dengan cara yang tidak kumengerti.
Aku tidak tahu tentang bahasa hati.
Jadi ketika hati istimewamu itu di sini,
bangunkan saja aku dari mati suri.
Dari hidup tanpa sepotong hati lagi.
Dan kumohon izinkan aku merasakan kehadiran hatiku lagi.

Sragen, 1 April 2015

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Mata

image

Kedua mata itu melihatku, tidak dengan tatapan bertanya, menuduh, ataupun sekedar mengenali. Kedua mata itu hanya … melihatku, seperti tatapan yang biasa kau berikan pada orang yang kebetulan berada di depanmu karena tempat duduk kalian kebetulan berbentuk kompartemen dengan 4 kursi, sementara 2 kursi lainnya diisi oleh orang-orang yang sibuk berperang dalam tidur yang berisik. Jadi kalian berpandangan, bukan karena harus, karena toh kau punya pilihan untuk mengalihkan pandangan atau sekedar berpura membaca buku yang kau buka lebar di pangkuanmu, tapi karena dalam ketidaktahuan itu, kedua mata itu memang ingin melihatmu. Mungkin hanya semacam keingintahuan orang asing yang biasa kau temui di kereta ketika kau membawa kelewat banyak barang atau memang ada sedikit keingintahuan jenis lain yang sampai detik ini, saat aku menjelaskan dengan panjang lebar bagaimana tatapan itu, masih belum bisa aku pahami.
Dan di antara ratusan pasang mata biru, kelabu, hijau, ataupun kecoklatan yang bisa kujumpai di mana saja, bahkan saat aku tidak sengaja menjatuhkan sekaleng soda di supermarket yang menimbulkan suara berderak yang cukup nyaring yang membuat puluhan pasang mata multiwarna memandangiku dengan tatapan mencela atau bertanya, aku merasa ingin tahu. Kedua pasang mata itu berwarna hitam. Hitam pekat seperti tinta yang kau tuang di malam hari pada saat listrik kota mendadak padam.

Kedua mata itu melihatku, dan aku balik menatapnya, merasakan detik demi detik berlalu dan entah mengapa tahu bahwa tatapan mata hitam di hadapanku itu perlahan berubah dari rasa ingin tahu, peduli, menjadi bertanya-tanya.
Ketika kedua mata itu mulai terlihat bertujuan dan mulut di wajahnya separo membuka, kemungkinan besar akan menanyakan apa yang sedang kulakukan, kualihkan tatapanku pada pemandangan spektakuler di sampingku. Sesungguhnya, musim gugur memang menakjubkan. Ada banyak warna oranye dan coklat yang terlihat kontras dengan warna mata semua orang.

Aku merasakan tatapan kedua mata itu beralih dariku dan ketika kudengar suara rendahnya menyapa ramah seseorang lewat handphonenya, aku mengalihkan pandanganku dari jendela dan berpura merapikan mantelku. Sebenarnya aku mengamatinya.
Dia terlihat tampan dengan kedua mata hitamnya. Rambutnya berwarna coklat kehitaman. Kurasa dia orang Amerika karena tidak hanya tidak ada aksen sama sekali dalam caranya berbicara, tapi juga ditegaskan oleh lambang negara itu yang terbordir rapi di saku jaketnya.
Aku tidak terlalu ingat jam berapa saat itu, karena aku lupa menyetel jam di HP ku dan ada yang salah dengan jam tanganku (oh lupakan saja, matahari di luar yang bersinar malu-malu sama sekali tidak membantu), tapi kurasa saat itu sudah separuh perjalanan dan kereta kami sedang melewati terowongan, ketika aku memberanikan diri untuk menatapnya langsung (aku sudah mengerlingnya beberapa kali tadi dan kurasa dia tidak terlalu peduli).
Kereta nyaris gelap gulita dan ketika aku menatapnya, kedua mata hitam itu balik menatapku. Ada kesan geli tertahan di sana.
” Oh, ayolah, berhentilah menatapku. Kurasa kau ingin tahu namaku. Aku Jamie, ngomong-ngomong. Kau ? ”
Dan ketika aku hampir membuka mulut untuk membalasnya, terowongan itu berakhir. Sinar mendadak membutakan mataku. Ketika aku memandangnya lagi, laki-laki di seberangku itu jelas-jelas memandangku dengan sedikit rasa ingin tahu.
Yah, kurasa itu bagaimana kami berjumpa dan menjadi penjelasan logis mengenai obsesiku mengenai warna mata.

Depok, 12 Februari 2015

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Mencari, Mencari, dan Mencari

image

Aku pergi ke sana sore ini,
Mencari, mencari, dan mencari.
Apa yang kucari?
Entahlah mungkin tersangkut di lubang kelinci.
Atau sedang berpetualang dengan seekor singa baik hati.

Aku sudah pergi ke sana ke mari.
Mencari, mencari, dan mencari.
Seperti yang sudah kusebutkan tadi,
Seekor sapi mungkin sedang mengajaknya menari,
Dan si domba menyemangati mereka dari sisi kiri.
Si domba tak henti-hentinya bergirang hati.

Aku sudah lama pergi seorang diri.
Mencari, mencari, dan mencari.
Menunggu sekuntum mawar bisa menyanyi.
Atau seekor bebek mulai berbicara bahasa Hindi.

Aku sudah lama menulis topik ini.
Mencari, mencari, dan mencari.
Lama kelamaan puisi ini sama absurdnya seperti legenda peti di ujung pelangi.
Melibatkan kelinci, singa, bebek, domba, dan sapi.
Aku khawatir pada akhirnya seluruh binatang ikut berada di sini.
Mencari, mencari, dan mencari.
Ngomong-ngomong, kau tahu kan maksud semua ini?

Birmingham, 24 Januari 2016

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Yang

image

Yang hilang dan yang ditemukan,
Yang berjalan dan yang sampai tujuan,
Yang bertanya dan yang mendapat jawaban,
Yang datang dan yang tidak ditinggalkan.

Yang menanti dan yang mencari,
Yang bertanya dan yang dijawab diri sendiri,
Yang mencoba dan yang masih gagal lagi,
Yang tahu dan yang belum mengakhiri.

Yang menulis dan yang membaca,
Yang bertanya dan yang tidak tahu harus berkata apa,
Yang diam dan yang berpendapat bijaksana,
Yang telah bertemu dan yang masih mengira-ngira,
Yang tahu puisi ini tentang apa dan yang masih belum jelas tentangnya,
Yang tersenyum dan yang mengerutkan kening sedalam-dalamnya,
Yang memahami dan yang menganggapnya lelucon belaka.

Birmingham, 23 Januari 2016

Leave a comment

Filed under Uncategorized