Monthly Archives: August 2013

catatan 25

Tentangmu, adalah benci bercampur rindu, dan terkadang bertambah sedikit rasa cemburu. Bukan padamu, tapi pada hatiku yang dulu. Hatiku yang dulu, mampu berdetak tanpamu, mampu menghibur orang-orang yang sedang merindu, mampu meyakinkanku bahwa tidak masalah aku selalu menjadi diriku. 

Kemudian kau datang begitu saja, di hidupku, di hatiku, tanpa peringatan terlebih dahulu, tanpa pemberitahuan ala protokol ratu. Bahkan tanpa sebongkah basa-basi ucapan selamat datang padaku. 

Kau, membuatku bertanya-tanya mengapa kau ada di hidupku, membuatku ragu apa yang ada di balik ucapan selamat pagimu. 

Selamat pagi, selamat siang, selamat malam, kembali menjadi pagi. Kau ucapkan semuanya padaku, tanpa sedikitpun rasa ragu, seolah kau adalah orator terbaik yang ada di bumi yang bundar ini. 

Kemudian perlahan, seperti ulat dalam kepompong yang mulai mengecat sayap belakang, ucapan salammu yang bertebaran menjadi menyenangkan, nyaris memabukkan, seolah jika kau tidak mengucapkannya aku akan mati kelaparan. Aku, raguku, dibalut dengan sempurna oleh keyakinanmu. 

Aku, mabuk oleh rasa rinduku, mulai menganggapnya sebagai prioritas dalam hidupku. Kau, dengan keyakinanmu, adalah tujuanku setelah bangun dari tidurku dan pemberhentian terakhirku sebelum berteman dengan tempat tidurku. 

Aku, mabuk dalam kegilaanku, merindukanmu. Kau, perlahan namun pasti, mengurangi basa-basimu. Aku khawatir suatu hari nanti kau akan menghilang dari hidupku. 

Aku, bertanya-tanya dalam rinduku, setengah mati memerangi kegilaanku, bergumul dengan keinginanku untuk berkata bahwa aku merindukanmu, pada akhirnya mendapati bahwa sekuat apapun kau membalut keraguanku dengan keyakinanmu, toh pada akhirnya keraguanku menang dengan mata berkaca. 

Kau, pergi, tanpa memberitahuku, tanpa mengingatkanku. Kau, pergi, dalam rinduku, meninggalkanku. 

 

Gresik, 26 Agustus 2013

2 Comments

Filed under Uncategorized

wedding dress

Aku memandanginya mematut diri di depan cermin berpinggiran perak setinggi dirinya, membubuhkan sedikit perona di pipi kirinya, melentikkan bulu matanya, merapikan ujung gaunnya, kemudian memandanginya memandangku lewat cermin di depannya, jelas terlihat terkejut tapi senang ; ada seulas senyum merekah di bibirnya yang telah dibubuhi lipstik warna pink pucat dengan hati-hati. 

Dia tetap di sana ; aku tetap berdiri di tempatku, mencoba menyampaikan hal-hal yang perlu kusampaikan lewat pandanganku, lewat senyumku. Setelah beberapa detik dia mengedikkan bahunya dan melambaikan tangannya yang dihiasi korsase warna ungu : menyuruhku mendekat. 

Aku tidak beranjak, tidak tahu bagaimana reaksinya tentangku karena saat itu seorang wanita bergaun merah marun mendekat, kemudian mulai memasang rangkaian bunga lilac di rambutnya. Tanpa sadar aku tersenyum ; tentu saja dia akan memakai bunga favoritnya di hari istimewanya, lagipula aku tahu betapa keras kepalanya dia : dia pernah mengobrak-abrik pasar bunga pagi Yunani yang tenang hanya demi segebung bunga lilac yang baru saja dipetik. Aku tidak tahu bagaimana caranya untuk mendapatkan bunga itu sekarang, mengingat saat ini sudah memasuki musim gugur dan setahuku kebanyakan bunga lebih memilih tidur di dalam umbinya daripada bertempur dengan angin yang tidak akan pernah bisa bekerjasama. 

Wanita bergaun merah marun itu pergi ke sudut ruangan, kelihatannya mencari sesuatu di dalam tas hitamnya, meninggalkan si gadis di depan cermin tersenyum memandangi dirinya, kemudian kembali memandangiku. Hiasan bunga lilac terpasang rapi di sanggul rambutnya, menebarkan wangi yang selalu mengingatkanku pada aroma padang bunga di musim panas : aroma parfumnya. 

Tentu saja aku mencintainya. Siapa yang tidak ? Gadis luar biasa seperti dia, seseorang yang memahamiku bahkan tanpa aku bicara, seseorang yang menghiburku bahkan ketika kesedihanku berbalut dengan tawa, seseorang yang tahu bahwa aku mencintainya…. 

” Kemarilah, ” katanya. ” TIdakkah kau ingin memanggilku dengan nama lahirku untuk terakhir kalinya ? ” 

” Jane Allison Mckinley, ” bisikku, merogoh saku tuksedoku dan menyerahkan sebuah pita rambut padanya. ” Something old, something blue. ” 

Dia tertawa, kemudian segera memasang pita itu di rambutnya, tepat di atas rangkaian lilacnya. ” Kau tidak lupa. Yunani, hmm ? ” 

Aku tahu kami mengenang memori yang sama. Memori ketika kami berdua mempertengkarkan hal yang sejujurnya konyol : apakah tradisi ‘something old something blue’ itu penting dan beberapa jam kemudian kami menemukan pita tua berwarna biru ini, tersangkut di semak rhododendron merah muda. Entah bagaimana saat itu kami tahu bahwa ‘something old, something blue’ sama pentingnya seperti perkataan ‘ya’ dari mempelai wanita kepada pengantin pria. 

Selama beberapa waktu, mungkin beberapa detik, mungkin sepuluh menit, atau mungkin sudah beberapa jam, kami hanya saling memandang, menikmati kehadiran satu sama lain. Menikmati bahwa dia ada di sini, di depanku, memakai gaun pengantinnya untukku, dan dengan sukarela akan mengganti nama belakangnya dengan nama belakangku. Kemudian seseorang menepuk bahuku, menggumam tak jelas mengenai sesuatu yang kedengarannya seperti para tamu sudah datang dan upacara akan segera dimulai. Aku masih menatapnya ; dia tertawa kemudian mengusirku dan segera menutup pintu. Aku berdiri terkesima. 

Suara dengung percakapan dan tut tut kontinyu membuatku terpaku. Apakah para tamu sudah datang ? Aku berjalan, kemudian berbelok, terus berbelok, berbelok….

Aku memandangi langit-langit berwarna putih di atas kepalaku, tidak mengerti. Bukankah seharusnya aulanya didekorasi dengan warna biru ? 

Aku mengangkat tanganku, berniat untuk menggosok mataku, memastikan bahwa yang kulihat itu memang langit-langit putih di atas kepalaku alih-alih langit-langit aula berdekorasi lampion biru, akan tetapi ada yang menahanku : aku tidak bisa menggerakkan tanganku. 

Aku melirik ke sekelilingku, kemudian mataku tertumbuk pada sosok Mom. Beliau menyadari pandanganku, kemudian segera menghampiriku. Matanya tidak pernah terlihat sebengkak itu….

Mengabaikan bunyi tut tut tut kontinyu di sebelah kananku, aku berusaha menanyakan apa yang terjadi pada Mom, tetapi tidak ada yang keluar. Hanya erangan tidak jelas yang keluar dari mulutku. Setetes air mata bening meluncur di pipi Mom yang masih memakai blush on rekomendasiku. 

Mom tidak berkata apa-apa, hanya memandangiku dan menangis tanpa suara. Kesadaran mulai menghantamku : apakah aku berada di rumah sakit ? Kulirik lenganku, aku masih memakai tuksedoku, Tunggu, kalau begitu, di mana Jane ? 

Suara tut tut tut kontinyu yang tadi kuabaikan langsung menarik perhatianku. Di sebelahku, hanya berjarak beberapa meter, terdapat sebuah tempat tidur. Aku tidak bisa melihat dengan jelas karena tempat tidur itu penuh dengan sosok berbaju putih. 

Suara tut tut tut kontinyu menyita perhatianku, berdetak seolah seirama dengan irama jantungku…. 

Kemudian aku melihatnya. Sosok yang berbaring di tempat tidur di sebelah kananku. Masih mengenakan korsase warna ungu, masih mengenakan gaun pilihanku, masih mengenakan hiasan lilac ungu, hanya saja aroma lilac tidak lagi memenuhi rongga hidungku. 

Aku tersentak. Jane ! Apa yang terjadi ? 

Kemudian ingatan mulai membanjiri kepalaku. Tentang bagaimana kami saling mengucap janji, tentang bagaimana semua orang berdiri dan tersenyum pada kami, tentang bagaimana aku membantunya menaiki mobil, tentang bagaimana aku yang duduk di kursi pengemudi, tentang bagaimana aku mendengar Jane berteriak dengan wajah ngeri, tentang bagaimana suara klakson yang ditekan dengan keras terus berbunyi, dan tentang bagaimana….aku mengingat semua hal ini. 

Aku ingin bangkit, tapi tidak ada bagian tubuhku yang menurutiku. Bahkan jari tanganku hanya tergeletak lemas di sampingku. Kutatap mata ibuku, bersusah payah menanyakan apa yang terjadi padaku dan memberi isyarat bahwa aku ingin melihat istriku. Istriku, Jane Allison Robert…. 

Mom menggeleng perlahan. Air mata telah sepenuhnya menghapus blush on di pipinya. Aku bertekad bangkit dengan sekuat tenaga, sembari mendengarkan suara tut tut tut kontinya di sebelah kananku, kemudian menyadari bahwa suara itu sedikit berbeda dari sebelumnya. Mungkinkah ? Rasa panik menjalar ke seluruh tubuhku seperti bisa ular. 

Aku menoleh ke samping kanan, berusaha dengan sekuat tenaga, kemudian mendapati dengan putus asa bahwa aku hanya bisa memandang bagian kiri tubuh Jane. 

Kupaksakan diriku lagi, mengabaikan orang-orang berbaju putih yang berlari-lari dari sebelah kiri, mengabaikan suara tut tut tut yang semakin cepat berbunyi…. 

Kemudian aku melihatnya. 

Gaun putihnya yang berubah warna menjadi merah tua… 

Korsase di tangan kanannya yang berbercak merah di bagian daunnya… 

Sepatu satinnya yang berubah warna menjadi merah pekat sempurna. 

Hal yang terakhir kuingat adalah pita biru di rambutnya, matanya yang terpejam rapat, dan suara tut tut tut kontinyu berubah menjadi semacam sirine yang panjang, sempurna. 

 

Gresik. 21 Agustus 2013

Leave a comment

Filed under Uncategorized

catatan 24

Di duniaku hanya ada aku.
Meskipun terkadang ragu-ragu,
Toh tetap saja aku maju.

Di duniaku tidak pernah ada pelangi.
Paling-paling hanya ada seekor sapi,
Merumput di rerumputan mati.

Di duniaku musim tidak pernah berganti.
Terkadang hujan menghampiri,
Tapi seringnya langit menjamu matahari.

Di duniaku tidak ada petang.
Setelah siang, malam menjelang.
Petang tenggelam bersama denting kebingungan.

Di duniaku satu ditambah satu sama dengan aku.
Tidak pernah ada jawaban seribu.
Apalagi perkalian semu.

Di duniaku pertanyaan tidak ada jawaban.
Tenggelam ditelan keheningan.
Enggan dilontarkan dalam keraguan.

Begitulah duniaku.
Hanya sepotong dunia di antara beribu.
Tidak banyak yang tahu,
Aku hidup di dunia seperti itu.

Sragen, 12 Agustus 2013

Leave a comment

August 12, 2013 · 7:24 am

catatan 23

Kata orang aku terlalu banyak membaca.
Membaca dongeng dan cerita cinta.
Tentang gadis biasa yang bertemu pemuda buruk rupa.
Dan entah bagaimana kekuatan cinta menyatukan mereka.
Mengubah si pemuda menjadi pangeran tampan berkuda.
Si pemuda dikutuk rupanya.
Dan kebanyakan cerita semacam itu berakhir bahagia.

Banyak orang berpikir aku terlalu banyak bermimpi.
Memimpikan bahwa si pangeran berkuda akan datang suatu hari nanti.
Dan sejujurnya memang kuakui,
Ada sebagian diriku yang diam-diam mengamininya dalam hati.

Banyak orang berkata,
Hidup adalah realita.
Tentang bagaimana semua hal itu fana,
Termasuk cerita-cerita yang sering kubaca.

Banyak orang mengomentari,
Bahwa aku hidup dalam dunia puisi.
Berteman dan menemani Cinderella yang sedang menyanyi.
Tanpa tahu bahwa di luar sana ibu tirinya sedang sakit gigi.

Di cerita-cerita,
Para tokoh utama selalu bertemu cinta sejatinya,
Setelah menunggu sekian lama.
Jadi apa yang bisa kupelajari dari sana?
Tentu saja hal yang tepat akan datang pada saatnya.
Tidak buru-buru dan ketinggalan kereta kencana.
Hal-hal itu akan tetap berada di sana,
Sampai kita membelok di tikungan ketiga dan bertemu mereka.

Dan seperti itu,
Meskipun banyak yang meragukanku,
Aku tetap percaya pada cerita buku-buku,
Bahwa orang yang tepat sedang mencarimu,
Barangkali saat ini sedang bersiap memakai sepatu,
Atau memberi minum kuda di danau ketujuh,
Atau …. Berjalan kaki untuk mencarimu.
Jadi masih maukah kau menunggu ?
Seperti aku yang menunggu dibawakan sepatu berujung biru ?

Sragen, 10 Agustus 2013

Leave a comment

August 10, 2013 · 4:07 pm

pintu dan hari ketujuh

Di depan pintuku,

Kau mengetuknya.

Kau ucapkan salammu,

Aku menjawabnya.

 

Kau membawa segebung bunga,

Dengan ikatan pita merah muda,

Aku bertanya-tanya,

bunga itu untuk siapa.

 

Kau bertanya padaku,

apakah aku sedang ingin menerima tamu ?

Aku ragu-ragu.

 

Terakhir kalinya ada orang di depan pintuku,

itu sudah bertahun-tahun lalu.

Dia datang tersenyum padaku,

Kemudian pergi begitu saja sambil membawa separuh hatiku.

Tanpa mempertimbangkan separuhnya lagi perlahan membeku.

 

Kau serahkan bunga kuning itu padaku,

Kemudian pergi dan berlalu.

Sembari melambaikan tanganmu, kau melemparkan senyummu.

Apakah untukku ?

Aku tidak tahu.

 

Keesokan harinya,

di depan pintuku lagi,

Kau ketuk sekeras-kerasnya.

Sambil mengulurkan bantal bersudut lima.

 

Ketika kutanyakan untuk siapa,

lagi-lagi kau tidak menjawabnya.

Tersenyum begitu rupa,

memamerkan deretan gigi yang sempurna.

 

Keesokan harinya,

begitu bel pintuku berbunyi,

aku nyaris berlari ke sana,

ingin tahu hari ini kau membawa apa.

 

Dan kau berdiri di sana,

tanpa berkata apa-apa,

mengulurkan sekeranjang buah beraneka rupa.

Dengan aroma jeruk menguar dari dalamnya.

 

Hiasan dinding dari kayu cendana

Rangkaian kerang dan makhluk laut lainnya,

Bola kaca dengan pemandangan padang Afrika,

Itulah benda-benda yang kau berikan padaku selanjutnya.

Masih tidak jelas untuk siapa.

 

Pada hari ketujuh aku memutuskan,

Hari ini kau benar-benar harus memberikan penjelasan.

Aku menantimu di teras depan.

 

Biasanya kau datang pukul tiga.

Setengah jam sebelumnya aku sudah duduk di sana.

Tidak menghiraukan pertanyaan ibuku dan yang lainnya.

 

Kulirik jam tanganku dengan waspada.

Aneh bukan, bagaimana waktu bergerak lambat jika kita terus memandanginya.

Yah, sebenarnya tidak perlu kusebutkan bahwa aku hampir memelototinya.

Jarum jam masih bergerak lambat dengan sama bandelnya.

 

Kemudian tepat pukul tiga.

Di depanku tidak ada siapa-siapa.

Setengah jam berikutnya,

kau tidak datang juga.

 

Setengah empat, setengah lima.

Aku masih duduk terkantuk-kantuk di sana.

Berharap kau datang dan menjelaskan segalanya.

 

Kuambil handphoneku,

menimbang-nimbang apakah seharusnya aku meneleponmu.

Tapi kontakmu tentu saja tidak ada di sana.

Sudah lama aku menghapusnya.

 

Pukul lima menjelang.

Kau masih tak juga datang.

Apakah semua akan berlalu tanpa penjelasan.

 

Ragu-ragu lagi,

kuambil handphone-ku kembali.

Meskipun aku sudah menghapusnya,

tetap saja nomor teleponmu ada di sana.

 

Deringan teleponku, bersamaan dengan deringan familiar handphonemu.

Nada lagu dari film yang kita anggap lucu.

Terdengar makian dari depan pagarku,

dan di sana kau berjongkok di antara rerimbunan bunga kupu seribu.

 

” Ah, ternyata kau merindukanku. ” kau berkata.

Aku diam saja, menunggumu menjelaskan segalanya.

” Buktinya kau menungguku dari jam setengah tiga. “

Aku hanya menatapmu tanpa kata-kata.

” Dan kulihat kau masih ingat nomorku. ” katamu selanjutnya.

 

” Aku hanya ingin tahu benda-benda itu untuk siapa. ” kataku akhirnya.

” Bukankah sudah jelas ? ” jawabmu sembari mengulurkan kotak biru tua.

” Tidak ada yang jelas tentang ini semua, mengingat kau pernah pergi sebelumnya. “

 

Kau mengulurkan kotak biru tua itu padaku.

Aku membukanya di depanmu.

Di dalamnya ada bantal merah jambu.

Hanya saja bantal itu tinggal separuh,

 

” Aku ingin minta maaf padamu. ” katamu

” Kenapa ? “

” Karena pernah pergi sebelumnya dari depan pintumu. “

“Kenapa kau melakukannya ? ” tanyaku.

” Aku tidak tahu, kurasa aku terlalu bodoh. ” katamu.

” Ini apa ? ” tanyaku, menunjuk bantal separuh yang masih di dalam kotaknya.

” Kukembalikan sepotong hatimu. Apakah kau mau memaafkanku ? “

” Aku butuh waktu. ” jawabku

” Aku tahu. Kalau begitu, selamat sore, Alena. “

Kemudian kau pergi berlalu.

 

Aku berdiri termenung di depan pintuku.

Kemudian tiba-tiba saja perasaan meluap membanjiriku.

” Aku memaafkanmu. ” teriakku.

Kau sudah berada di depan pagarku, menoleh dan memamerkan senyummu.

” Tapi semuanya tidak akan pernah sama. ” lanjutku.

” Tentu saja,aku tidak mengharapkannya. Aku hanya ingin kita bicara. Selamat malam, Alena. Teman ? ” tambahmu tiba-tiba.

Dengan segera aku menyanggupinya.

Kemudian kau pergi seiring berlalunya senja.

 

Aku masuk ke dalam rumahku,

mengunci pintuku.

Sudah lama aku tidak memegang kunciku,

karena sudah lama pula kau membawanya bersama sepotong hatiku.

Dan baru saja kau mengembalikannya.

 

Aku berdiri di depan pintuku.

Merasa sedih sekaligus lega.

Meskipun saat ini hatiku masih beku.

Aku tahu suatu hari seseorang akan mencairkannya.

Ketika saat itu tiba, akan kubuka pintuku dengan kunciku satu-satunya.

 

 

Sragen, 7 Agustus 2013

 

Leave a comment

Filed under Uncategorized

pigura

Image

Dulu ada 1 pigura yang terletak di ruang keluarga. Pigura itu tidak terlalu besar, juga tidak terlalu kecil, cukup terlihat di antara piagam penghargaan menggambar dan kejuaraan merangkai bunga. Pigura itu berpelitur, berwarna coklat tua, dan menguarkan bau harum kayu kalau kau berdiri cukup dekat dengannya. Dengan hati-hati, setiap hari ibuku membersihkannya. 

Ada 4 orang di pigura itu, memakai baju putih yang senada, berfoto dengan latar belakang biru tua. Aku ingat foto pigura itu diambil setelah kami menghadiri acara selamatan kakakku yang khatam Al Qur’an untuk pertama kalinya. Saat itu aku masih duduk di kelas tiga dan harus berdiri di atas bangku kecil supaya si fotografer bisa memasukkanku ke dalam bidikan lensa kameranya. 

Sekarang Ibuku duduk di dekatku, membawa sebuah tambahan pigura. Ada beberapa foto di pangkuannya, dan ibuku sedang bingung memutuskan memajang foto yang mana. Foto kakakku yang diwisuda ataukah foto ketika dia memakai baju pengantin adat Jawa ? Ataukah kedua-duanya ? 

Di ruang keluarga ada banyak pigura. Satu berpelitur kayu, sedangkan lainnya terbuat dari besi tempa. Di foto itu ada kami semua. Aku melirik foto kakakku yang berada di samping istrinya ; foto itu khusus dibingkai dengan pigura dari kayu cendana. 

Tahun ini kami akan berfoto bersama. Hanya saja sekarang tidak hanya kami berempat : ibuku dengan senang hati akan menambahkan kedua cucunya ke dalamnya. 

 

Sragen, 6 Agustus 2013

Leave a comment

Filed under Uncategorized

catatan 22

Bukankah beberapa orang itu sejujurnya terlihat menggelikan ? 

Berusaha menulis cerita cinta meskipun mereka sudah lupa rasanya,

Berusaha merangkai kata-kata meskipun tidak tahu bagaimana harus memulainya,

Berusaha menulis hujan meskipun musim sedang kerontang. 

 

Mereka terbiasa menulis apa saja. 

Cerita ini, itu, dan apapun yang terlintas di kepala mereka. 

Biasanya kurang dari lima menit sebuah tulisan mereka cipta. 

Dengan kepuasan mendalam ketika ada orang yang membacanya. 

 

Menulis itu menyenangkan, 

ketika kau punya banyak hal untuk diceritakan. 

Apapun yang sedang kau rasakan, 

bisa kau tuang dalam tulisan. 

 

Tentu saja bagi mereka menulis itu menggembirakan. 

Ada bagian diri mereka yang berdansa seiring dengan penciptaan sebuah tulisan. 

Ada kegembiraan dan kesedihan yang bisa mereka wakilkan tanpa dibicarakan. 

Ada keheningan yang terasa memuaskan. 

 

Akan tetapi seperti semua hal di dunia, 

terkadang mereka kehabisan cerita. 

Apa yang bisa mereka tulis terasa sama saja. 

Hanya melulu kisah cinta yang direka-reka. 

Karena bisa dibilang mereka sudah lupa bagaimana rasanya. 

 

Mereka lupa bagaimana rasanya jatuh cinta. 

Mereka lupa bagaimana bisa tersenyum tanpa bicara. 

Mereka lupa bagaimana bisa menangis tanpa air mata. 

Mereka lupa bagaimana bisa tangis dan tawa bersama. 

 

Sebut saja mereka terlalu polos untuk ukuran orang dewasa. 

Percaya bahwa di sudut dunia ada seseorang yang khusus mencari mereka. 

Percaya bahwa di setiap cerita pasti ada akhir yang bahagia. 

Percaya bahwa cerita mereka akan berakhir menjadi sebuah legenda. 

 

Sejauh ini apa yang mereka lakukan ? 

Oh, selain fakta bahwa tidak ada hal yang mereka lakukan. 

Tentu saja mereka menceritakannya lewat tulisan ! 

 

Tulisan ini adalah salah satunya. 

Bercerita mengenai ini, itu, dan apa saja. 

Sementara penulisnya berlindung di kata ganti orang ketiga. 

Menggantinya menjadi “mereka”. 

Meskipun sejujurnya, tentu saja ini adalah ceritaku yang sebenarnya. 

Kau percaya ? 

 

Gresik, 1 Agustus 2013

 

Leave a comment

Filed under Uncategorized