Di depan pintuku,
Kau mengetuknya.
Kau ucapkan salammu,
Aku menjawabnya.
Kau membawa segebung bunga,
Dengan ikatan pita merah muda,
Aku bertanya-tanya,
bunga itu untuk siapa.
Kau bertanya padaku,
apakah aku sedang ingin menerima tamu ?
Aku ragu-ragu.
Terakhir kalinya ada orang di depan pintuku,
itu sudah bertahun-tahun lalu.
Dia datang tersenyum padaku,
Kemudian pergi begitu saja sambil membawa separuh hatiku.
Tanpa mempertimbangkan separuhnya lagi perlahan membeku.
Kau serahkan bunga kuning itu padaku,
Kemudian pergi dan berlalu.
Sembari melambaikan tanganmu, kau melemparkan senyummu.
Apakah untukku ?
Aku tidak tahu.
Keesokan harinya,
di depan pintuku lagi,
Kau ketuk sekeras-kerasnya.
Sambil mengulurkan bantal bersudut lima.
Ketika kutanyakan untuk siapa,
lagi-lagi kau tidak menjawabnya.
Tersenyum begitu rupa,
memamerkan deretan gigi yang sempurna.
Keesokan harinya,
begitu bel pintuku berbunyi,
aku nyaris berlari ke sana,
ingin tahu hari ini kau membawa apa.
Dan kau berdiri di sana,
tanpa berkata apa-apa,
mengulurkan sekeranjang buah beraneka rupa.
Dengan aroma jeruk menguar dari dalamnya.
Hiasan dinding dari kayu cendana
Rangkaian kerang dan makhluk laut lainnya,
Bola kaca dengan pemandangan padang Afrika,
Itulah benda-benda yang kau berikan padaku selanjutnya.
Masih tidak jelas untuk siapa.
Pada hari ketujuh aku memutuskan,
Hari ini kau benar-benar harus memberikan penjelasan.
Aku menantimu di teras depan.
Biasanya kau datang pukul tiga.
Setengah jam sebelumnya aku sudah duduk di sana.
Tidak menghiraukan pertanyaan ibuku dan yang lainnya.
Kulirik jam tanganku dengan waspada.
Aneh bukan, bagaimana waktu bergerak lambat jika kita terus memandanginya.
Yah, sebenarnya tidak perlu kusebutkan bahwa aku hampir memelototinya.
Jarum jam masih bergerak lambat dengan sama bandelnya.
Kemudian tepat pukul tiga.
Di depanku tidak ada siapa-siapa.
Setengah jam berikutnya,
kau tidak datang juga.
Setengah empat, setengah lima.
Aku masih duduk terkantuk-kantuk di sana.
Berharap kau datang dan menjelaskan segalanya.
Kuambil handphoneku,
menimbang-nimbang apakah seharusnya aku meneleponmu.
Tapi kontakmu tentu saja tidak ada di sana.
Sudah lama aku menghapusnya.
Pukul lima menjelang.
Kau masih tak juga datang.
Apakah semua akan berlalu tanpa penjelasan.
Ragu-ragu lagi,
kuambil handphone-ku kembali.
Meskipun aku sudah menghapusnya,
tetap saja nomor teleponmu ada di sana.
Deringan teleponku, bersamaan dengan deringan familiar handphonemu.
Nada lagu dari film yang kita anggap lucu.
Terdengar makian dari depan pagarku,
dan di sana kau berjongkok di antara rerimbunan bunga kupu seribu.
” Ah, ternyata kau merindukanku. ” kau berkata.
Aku diam saja, menunggumu menjelaskan segalanya.
” Buktinya kau menungguku dari jam setengah tiga. “
Aku hanya menatapmu tanpa kata-kata.
” Dan kulihat kau masih ingat nomorku. ” katamu selanjutnya.
” Aku hanya ingin tahu benda-benda itu untuk siapa. ” kataku akhirnya.
” Bukankah sudah jelas ? ” jawabmu sembari mengulurkan kotak biru tua.
” Tidak ada yang jelas tentang ini semua, mengingat kau pernah pergi sebelumnya. “
Kau mengulurkan kotak biru tua itu padaku.
Aku membukanya di depanmu.
Di dalamnya ada bantal merah jambu.
Hanya saja bantal itu tinggal separuh,
” Aku ingin minta maaf padamu. ” katamu
” Kenapa ? “
” Karena pernah pergi sebelumnya dari depan pintumu. “
“Kenapa kau melakukannya ? ” tanyaku.
” Aku tidak tahu, kurasa aku terlalu bodoh. ” katamu.
” Ini apa ? ” tanyaku, menunjuk bantal separuh yang masih di dalam kotaknya.
” Kukembalikan sepotong hatimu. Apakah kau mau memaafkanku ? “
” Aku butuh waktu. ” jawabku
” Aku tahu. Kalau begitu, selamat sore, Alena. “
Kemudian kau pergi berlalu.
Aku berdiri termenung di depan pintuku.
Kemudian tiba-tiba saja perasaan meluap membanjiriku.
” Aku memaafkanmu. ” teriakku.
Kau sudah berada di depan pagarku, menoleh dan memamerkan senyummu.
” Tapi semuanya tidak akan pernah sama. ” lanjutku.
” Tentu saja,aku tidak mengharapkannya. Aku hanya ingin kita bicara. Selamat malam, Alena. Teman ? ” tambahmu tiba-tiba.
Dengan segera aku menyanggupinya.
Kemudian kau pergi seiring berlalunya senja.
Aku masuk ke dalam rumahku,
mengunci pintuku.
Sudah lama aku tidak memegang kunciku,
karena sudah lama pula kau membawanya bersama sepotong hatiku.
Dan baru saja kau mengembalikannya.
Aku berdiri di depan pintuku.
Merasa sedih sekaligus lega.
Meskipun saat ini hatiku masih beku.
Aku tahu suatu hari seseorang akan mencairkannya.
Ketika saat itu tiba, akan kubuka pintuku dengan kunciku satu-satunya.
Sragen, 7 Agustus 2013